Salam
Perpisahan
Oleh
: Khamdanah
Hari
ini aku mengikuti tahap tes wawancara, aku mengikuti seleksi beasiswa ke salah
satu universitas di Amerika. Iya, pilihan yang aku pilih mungkin agak
membingungkan. Bahkan aku sendiripun bingung dengan keputusanku ini. Sebenarnya
aku tak benar-benar berniat pergi. Semua berawal dari rasa jenuhku dengan
hubungan ini.
***
Waktu
menunjukan pukul 05.00 pagi. Tiba-tiba Hana muncul di kamarku saat itu, kulihat
wajahnya pucat. Namun, ia tersenyum manis padaku. “kau tidur seperti tak akan
bangun lagi! Hingga aku takut melihatmu tidur...” ucap Hana padaku yang baru
membuka mata. Aku tak menjawab apapun, kemudian aku bangkit dan ku ambil handuk
yang tergantung di dinding. “apakah kau akan pergi?” Hana bertanya padaku. Kali
ini aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. “aku akan mengurus beberapa surat
untuk keberangkatanku ke Amerika” kujawab pertanyaannya sambil berjalan menuju
ke kamar mandi. Hana meletakkan beberapa tangkai bunga dalam vas di meja, ia
memang selalu melakukan hal itu sejak empat tahun yang lalu.
Hana
masih duduk di kursi ketika aku meninggalkannya di rumahku. Ia terlihat
baik-baik saja. Ketika aku duduk di dalam bus tiba-tiba ponselku berdering.
Mama
Maya called
Setelah
kulihat ternyata itu adalah telfon dari ibu Hana, bergegas kuangkat karena
kukira ada hal yang sangat perting yang ingin beliau bicarakan padaku. Kudengar
tangisnya yang lirih namun menyayat hatiku. Bergegas aku turun dari bus dan
berlari menuju rumahku. Kubuka pintu dan kucari Hana kesetiap sudut ruangan.
Dan tidak kutemukan.
Aku
masih tak percaya. Aku merasa bahwa semua ini mimpi dan aku berharap semoga ini
memang mimpi. Hana yang pagi ini tersenyum padaku, kulihat tubuhnya terbaring
koma di salah satu ruang rumah sakit. Aku tak percaya ini. Siapa yang tadi
menemuiku? Apa maksud semua ini? Semakin kupaksa otakku berpikir semakin aku
merasa tak dapat bernapas. Tubuhku bergetar. Dan air mata ini menetes.
***
4-5-10
Hari
ini aku benar-benar lelah dengan rutinitas kerjaku. Penat meremuk tubuhku, aku
ingin sejenak melepas lelahku. Akhir-akhir ini kulampiaskan kekesalanku dengan
kebiasaan baruku yaitu merokok. Meski kutahu seseorang melarangku melakukan
ini, tak ada alasan lain bagiku untuk mengikuti perkataanya. Karena akupun
lelah dengannya. Lama ku cari benda yang aku butuhkan. Tak tak kutemukan
satupun, yang kutemukan hanyalah catatan
kecil dalam lokerku.
sayang, apakah kamu mencari korek
api? Kamu akan merokok? Lihat mukamu dikaca, pasti memerah. Maafkan aku. Aku
sembunyikan semua korek api yang ada di rumahmu agar kau tak dapat merokok.
Sayang, dulu aku sering menerima
kejutan darimu, kado yang kamu beli dari uang yang kamu kumpulkan saat itu,
karena kamu berhenti merokok. Namun, sekarang aku jarang melihatmu
melakukannya.
Aku rindu.
I Love You
Hana
***
Malam
ini aku berjanji akan menemui Hana disalah satu restoran langganan kami berdua.
Itu dulu, sebelum aku merasa jenuh dengan perjalanan cinta kami. Waktu empat
tahun bersama yang seharusnya membuatku tambah mencintainya, justru membuatku
merasa bosa dengan rutinitas kami berdua. Aku yang tak dapat menemukan sesuatu
yang mungkin banyak orang sebut sebagai inovasi.Namun, sebaliknya dengan Hana, ia
benar-benar wanita yang sangat setia dan perhatian. Meskipun aku mengabaikannya
akhir-akhir ini, ia tetap dengan sabar menungguku di tempat itu.
23.30
From
: Hana :*
Sayang J
kamu pasti sibuk ya? Aku sudah menunggumu empat jam di sini.
Sebenarnya agak risih juga si,
hehe.. untung pelayannya baik ya jadi aku ga diusir
Aku pulang sendiri yang
Kamu jangan lupa istirahat ya J
miss you
Pesan
yang dikirim oleh Hana ke ponselku benar-benar aku abaikan. Entah apa yang aku
pikirkan, aku merasa Hana hanya membatasi kebebasanku. Membuatku tak dapat
berkutik bahkan hanya untuk bernapas. Terkadang aku merasa bahwa tindakanku
salah, aku tak sepantasnya mengabaikan Hana hanya karena aku jenuh dengannya.
“hey!!
Cewek sebaik itu lu sia-siain?” Olan tiba-tiba merangkulku dari belakang,
mengagetkanku dan aku terperanjat melepas lamunanku tentang Hana. “ini bukan
sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah. Lu ga ngerti apa yang ada dipiran
gue Lan” bantahku kepada Olan yang sejak tadi memandangku dengan tatapan buas.
“jelas gue ga ngerti, karena gue bukan lu. Gue bukan orang yang akan nyia-nyiain
cewek sebaik Hana, cewek yang setia dan sayang banget sama lu. Gue ga tahu apa
yanglu pikirin, yang jelas kalo gue jadi lu... gue ga akan sebodoh lu!!”
kemudian Olan pergi ke meja kerjanya. Malam ini kami lembur berdua. Aku dan
Olan membisu dalam kedinginan malam, kami hanyut dan tenggelam dalam pikiran
masing-masing. Aku benar-benar mengerti apa yang dikatakan oleh Olan, dan ia
memang tak salah mengatakan hal itu. Tapi, sepertinya Olan memang tak mengerti
sedikitpun apa yang aku pikirkan. Ia tak mengerti apapun tentang diriku dan
perasaanku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku hanya lelah.
***
Hana
dan Sania sedang duduk di salah satu bangku di taman kota. Mereka memang
sengaja untuk bertemu, Sania adalah sahabat Hana sejak mereka duduk di bangku
SMP. Hana menceritakan semuanya tentang perubahan sifat Haikal. “sudah jelas
Haikal ga sayang sama kamu lagi Han, mungkin Haikal minta putus sama kamu Cuma
dia cari-cari alasan supaya dia bener-bener bisa pisah sama kamu. Percaya deh
sama aku, kamu itu baik Han, kamu cantik, masih banyak cowok di luar sana yang
mau sama kamu. Jangan sia-siain waktu kamu Cuma buat cowok kayak Haikal, aku ga
suka” Sania menjelaskan panjang lebar kepada Hana, berharap Hana akan
mendengarkan dan melaksanakan nasihatnya. Namun, sepertinya hal itu sia-sia.
Karena Hana bukanlha tipe orang yang akan rela meninggalkan seseorang yang
sangat ia sayangi. Hana sudah bertekad bahwa ia akan tetapmenjaga hubungannya
dengan Haikal. Ia percaya bahwa Haikal sebenarnya sangat menyayanginya. Hanya
saja mungkin untuk saat ini Haikal masih sibuk dengan pekerjaannya sehingga
menyita waktu bersama Hana.
***
Aku
duduk di samping tempat tidur Hana, memegang erat tangan Hana yang pucat itu. Aku
masih tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dalam hati aku berteriak,
bahwa semua ini hanyalah ilusi, hanya sebuah mimpi. Dan saat terbit fajar maka
Hana akan kembali lagi. Namun, yang aku harapkan tidaklah terwujud. Hana tetap
terbaring dan menutup matanya. Hana tak dapat bergerak bahkan hanya untuk
sekadar membuka matanya. Aku sangat menyesal atas apa yang ku lakukan selama
ini, seandainya waktu dapat kembali. Aku ingin mengatakan kepada Hana bahwa aku
juga sangat menyayanginya. Dan aku menyesal.
Aku
kembali ke kamarku. Kubuka pintu dan aku terhuyung ke tempat tidurku. Kepalaku
terasa berputar, aku tak dapat berpikir apapun. Aku terpejam.
Saat
aku membuka mata, aku melihat Hana sedang merapikan kamarku, seperti biasa ia
membawa setangkai bunga dan meletakannya di vas yang dulu ia berikan kepadaku
sebagai hadiah. Ia tersenyum melihatku membuka mata, dengan tatapannya yang
manja. Hana memakai gaun putih yang cantik, wajahnya sayu. Aku masih tak
mengerti dengan semua ini, sebenarnya apa yang terjadi? Aku bangun dan
kusingkapkan selimutku, kuhampiri Hana yang masih berdiri disudut kamar. Aku
memeluknya erat, kukatakan padanya bahwa aku benar-benar tak ingin ia pergi.
Hana menatapku erat, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, tak
kudengar sepatah katapun dari mulutnya. Sekali lagi, Hana hanya tersenyum manis.
Setelah
memcuci mukaku, aku duduk bersama Hana di ruang makan, aku bertanya padanya
apakah dia baik-baik saja, dan Hana mengangguk pelan. Saat aku bertanya “dengan
apa kamu bisa ke sini sayang?” Hana tak menjawab, ia berdiri dan berjalan ke
arah jendela. Kemudian Hana menunjuk ke arah luar, setelah ku lihat di luar
sana terparkir sepeda yang biasa Hana gunakan. Hana memang suka bersepeda.
Nampaknya Hana ingin menjawab semua pertanyaanku tanpa ia mengeluarkan sepatah
katapun.
Sebenarnya
ada banyak pertanyaan yang ada dikepalaku ini. Aku tak dapat mengartikan
perasaan apa yang sedari tadi mengetuk-ketuk hati ini. Disatu sisi aku ingin
mendapat jawaban dari mulut kekasihku itu, mengenai sebenarnya apa yang terjadi
padanya. Di sisi lain, saat ini aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua
dengannya. Waktu yang mungkin tak dapat kumiliki lagi bersamanya.
Hana
menggandengku pelan, nampaknya ia ingin membawaku ke suatu tempat dan kami tiba
disebuah taman kecil dipenuhi bunga. Kepalaku semakin pening, jantungku berdetak
kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? Akan ada apa setelah ini? Akankah Hana
teteap bersamaku? Seketika itu air mataku menetes pelan. Hana menyeka air
mataku. “jangan menangis, ini bukanlah sebuah perpisahan sayang. Ada banyak hal
yang sebenarnya masih ingin aku lakukan bersamamu. Tak perlu bersedih, ingatlah
bahwa dengan hati yang gembira semuanya akan jadi mudah. Aku akan selalu hidup
dalam hatimu. Berjanjilah padaku, ada atau tidak aku di sisimu, kau akan tetap
tersenyum. Berjanjilah sayang” Hana menatapku, aku tak dapat mengatakan apapun,
tubuhku terasa terpaku.
Telepon
berdering, aku terbangun dari tidurku. Dan Hana... tak ada.
***
“sudahlah..
nak Haikal tak perlu menyesal. Mungkin ini memang takdir putriku, putriku yang
malang” Ibu Maya menyeka air matanya. “ibu yakin bahwa Hana pergi dengan
bahagia, ia pergi dengan damai” aku tak membalas ucapan Ibu Hana, semua ini
masih terasa seperti mimpi untuku. Dan apakah aku harus memaksakan diri untuk
bangun agar Hana dapat kembali?
***
Setelah
menungguku lama dan aku tak menemuinya, Hana memutuskan untuk pergi ke rumahku,
dengan sepeda kesayangannya, ia mengayuh sepeda dan membawa setangkai bunga
yang akan ia letakan di vas kamarku. Seperti yang biasa ia lakukan. Dengan
senyum ceria ia terus mengayuh, tak menyadari bahwa dari arah yang beralawanan
sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Sepeda
itu hancur, dan bunga indah itu layu sebelum waktunya. Hana.. hanya Hana.
0 komentar:
Posting Komentar