Inter Arma Caritas
oleh : Khamdanah
“Inter
arma caritas!!” teriak kami bersama-sama.
“Solverino”
terdengar jawaban dari jarak 100 meter. Kami melanjutkan perjalanan, meskipun
lelah kami tetap berjalan. Tanpa sadar aku melamun
“Siamo!!!”
suara lantang dan membuyarkan semua lamunan.
“Siamo....”
jawab kami bersama-sama.
***
“Bu,
tolonglah.. satu lagi, hanya satu lagi” pinta Rana merengek. Tapi sepertinya
ibu tersebut tak mendengarkannya sama sekali.
“Maaf
mbak, saya harus mengantar anak saya latihan tari sekarang, silakan cari tempat
lain” kemudian pemilik tempat fotokopi itu bergegas berkemas dan mengambil
kunci pintu. Aku hanya tertunduk lemah, cocard
yang harus aku bawa untuk penerimaan calon anggota sebuah UKM di sebuah
universitas, belum selesai ku buat, ibu fotokopian itu tidak mau menerima
permintaan laminating cocardku.
Disudut ruangan kulihat lelaki itu memegangi cocard miliknya dengan wajah lesu.
“Apa
benar-benar tidak bisa Bu?” tanya lelaki itu pada ibu pemilik tempat fotokopi.
“dia mengatakan hal yang sia-sia!” batinku berteriak.
“Duh
Mas.. Mas.. kan sudah saya jelaskan tadi sama mbaknya, saya tidak bisa.
Silahkan cari tempat lain”. Jelas ibu itu dengan nada kesal.
“Yasudah
Bu terimakasih” ucapku datar menimpali percakapan mereka.
“Iya
mbak, mas, sekali lagi saya minta maaf” ibu pemilik foto kopi kemudian
mengambil tasnya dan bergegas keluar, kami berdua mengikutinya dari belakang.
Pada
akhirnya kami gagal membujuk ibu pemilik tempat fotokopi untuk melaminating cocard kami. Tanpa sengaja, kuamati cocardnya dan sama persis dengan
milikku. Hanya saja ia belum memakai pakaian yang sudah ditentukan oleh
panitia. Tanpa pikir panjang aku mengajukan pertanyaan padanya
“Cocard kita sama, apa kau juga calon anggota?”
tanyaku padanya
“Iya”
jawabnya singkat dan tersenyum manis, jika dilihat-lihat dia adalah lelaki yang
manis. Tapi, bukan saatnya untuk berpikir demikian pada saat genting seperti
ini, sekarang menunjukan pukul 07.13 dan aku harus sampai di tempat perkemahan
pada pukul 07.30. sudah tidak ada waktu lagi bahkan untuk sekadar melamun.
“Yuk
cari tempat fotokopi lain” ucapku sambil menarik lengannya, lelaki itu terlihat
canggung, ia tak beranjak dari tempatnya berdiri.”ayuk, kita akan telat jika
tak bergegas! Apa kau ingin dihukum?” timpalku lagi.
“Oh..
iya” dia melangkah dan menarik lenganku. Simpulannya? Mengapa kami berdua
menjadi saling tarik menarik lengan? Pikirku dalam hati.
Lelaki
itu ternyata membawa motor, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di
belakangnya, ia tampak bingung kembali. Aku tak menghiraukan, kukatakan padanya
bahwa sebaiknya dia bergegas mencari tempat fotokopian. Mungkin dia berpikir
bahwa aku adalah wanita yang aneh, membonceng seorang lelaki yang bahkan belum
tahu namanya itu. Tapi ini adalah keadaan mendesak, aku tak memikirkan hal-hal
lain selain aku sampai di tempat itu dengan tepat waktu. Dalam perjalan lelaki
itu bercerita bahwa ia sudah mengelilingi lingkungan kampus dan tidak menemukan
satupun fotokopian yang buka karena tempat fotokopi memang buka agak siang,
sehingga kami harus mencari ke tempat yang lebih jauh lagi. Pada akhirnya, kami
menemukan tempat fotokopian yang baru saja dibuka. Kami selamat dari bercana,
setidaknya untuk saat ini. Sambil menunggu cocard
selesai dilaminating, aku memulai percakapan dengannya.
“Mengapa
kau tidak memakai pakaian yang ditentukan? Sebaiknya kau menggantinya sekarang,
masih ada waktu!” ucapku dengan maksud sedikit memberikan solusi.
“Tak apa, nanti saja aku menggatinya” jawabnya
dengan muka misterius.
“Tapi
kau akan telat!” aku tak ingin kalah beradu argumen saat ini.
“Bukankah
anak lelaki sebaiknya telat?” jawaban singkat dan menyakitkan. Aku tak dapat
berkata-kata lagi. Alih-alih memalingkan wajah memandangi mas-mas tukang
fotokopi.
“Bolehkah
aku memintamu mengantarku?” kali ini aku memintanya dengan tulus. Aku hanya
tidak ingin telat, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu.
“Baiklah..”
“Sungguh?
Terimakasih...” kemudian dia mengantarku. Sesampainya di gerbang universitas,
aku turun dari motornya, sebelum dia pergi kuucapkan kata terimakasih untuk
kedua kalinya, setidaknya dia telah menyalamatkanku dari hukuman para senior
yang galaknya melebihi satpam kampus dan sensitifnya melebihi ibu-ibu hamil
itu.
“Aku
Rana” aku memperkenalkan diri karena sedari tadi dia tidak mengajakku
berkenalan, sehingga aku mengeluarkan inisiatif
ini.
“Rangga..”
dan kemudian kami berpisah di sini.
Meskipun
pada akhirnya kami akan sering bertemu. Namun, semua diawali dan diakhiri di
sini.
***
Kami
adalah sukarelawan, kamilah Korp Sukarela atau biasa dipanggil KSR. Kami
membantu orang-orang yang memerlukan bantuan, kami tidak dibayar. Kami
melakukan semua dengan sukarela, berharap keadaan akan membaik jika kami ada.
Kami membawa prinsip-prinsip kemanusiaan, kami beranggapan bahwa manusia adalah
makhluk sosial, kami semua sama, kami semua rata, karena itu kami wajib
membantu sesama yang membutuhkan bantuan kami.
***
“Jangan
manja!! Kalian ini calon penolong!!! Bukan orang yang harus ditolong! Camkan
itu dalam-dalam dipikiran kalian!” bentak senior yang menjabat sebagai
koordinator lapangan yang horornya seperti tokoh Dugong dalam cerita Putri
Duyung, begitulah pikirku. Bagaimana tidak, ia membentak tepat ditelingaku
hingga rasanya telingaku berdenging seketika itu dan masih dapat merasakan
dengingan di telaku hingga beberapa hari kemudian.
“Hey!
Kamu lari cepet! Baru lari di medan biasa saja ngeluh! Gimana kalo ke medan
bencana! Dipikir! Kalo tidak siap pulang saja sana! Manja!!!” bentak Dugong yang
lain.
Kami
dilatih untuk mandiri, kami dilatih untuk sadar dengan keadaan. Peka dengan
lingkungan. Kami dilatih agar dapat bertahan dalam keadaan apapun. Kami dilatih
bertahan dalam medan bencana, bukan di tempat yang dikelilingi kenyamanan.
***
Di
tengah malam, dingin terasa masuk ke dalam tulang-tulang kering yang kelelahan.
Tulang-tulang rusuk bahkan ikut berderik karena terlalu dipaksakan untuk
bertahan. Di tengah hutan, kami mendapat amanat membawa sekantung darah yang
harus dibawa hingga pos terakhir. Darah harus aman, tidak boleh hilang,
terjatuh, pecah, atau bahkan bocor sedikitpun.
Kami
terus berjalan, melewati setiap lekuk bumi, tanjakan dan turunan yang curam.
Sungai yang mengalir deras, struktur tanah yang tidak menentu, harus kami
lewati agar sampai hingga pos terakhir. Perjalanan tidaklah mudah, tetapi kami
tetap berjalan dan terus berjalan. Kami adalah calon sukarelawan.
Bahkan
kami harus memakan mie instan dengan tangan kosong yang sudah disiram dengan
air terasi, sedang tangan kiri memegang belatung. Jika aku berpikir ulang, apa
maksud semua itu dengan gerakan sukarela?. Namun, aku menemukan jawaban bahwa
ketika menolong orang lain, akan ada banyak hal-hal yang tidak menyenangkan
bahkan menyakitkan. Bahwa tidak semua yang kita inginkan akan menjadi
kenyataan, masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan.
***
Hari-haripun
berganti, aku masih tetap disini dan menunggu. Aku yang selalu seperti ini,
akan tetap seperti ini. Angin melewati setiap sela-sela jariku. Cahaya yang
meredup entah di tempat ini atau di hatiku. Aku tetap volunter, kita volunter,
kami semua volunter, kita semua volunter. Rangga.
***
27
Mei 2006
“Kita
membutuhkan lebih banyak mitela, ini
tidak akan cukup” ucap Rangga tergesa-gesa. Aku memegangi erat kaki korban.
“Ini
adalah patah tulang terbuka, kita tak akan membiarkannya terus seperti ini.
Keadaan akan memburuk, kita tidak bisa memastikan apakah akan ada gempa susulan
lagi” tampak jelas kekhawatiran diwajah Rangga, ia terlihat sangat cemas.
Sambil membuat cincin dengan menggunakan mitela
untuk menutup tulang patah yang terbuka.
“Ini
adalah perdarahan serius, kita perlu menghentikan perdarahan agar korban
tertolong” ucapku membalas Rangga. Ia tak menoleh, tentu ucapanku sudah ada
dikepalanya bahkan tanpa aku menjelaskan kepadanya. Kecakapan dan
pengetahuannya tentang pertolongan jauh lebih baik dibandingkan denganku.
“Kita
harus hentikan aliran darah keseluruhan” ucap Rangga serius.
“Apa
kau gila? Dia anak-anak, jika kita lakukan itu maka kakinya akan diamputasi, apa
kau tega melihat anak delapan tahun pergi ke sekolah dengan menggunakan
tongkat?” jawabku setengah membentak.
“Lalu
apakah kau ingin anak ini tidak besekolah untuk selamanya?” aku hanya terdiam,
Rangga benar bahwa jika tidak dilakukan penghentian perdarahan maka nyawa anak
ini tidak akan tertolong. Anak laki-laki berusia delapan tahun yang seharusnya
sedang asyik bermain layang-layang atau sepak bola bersama teman-temannya di
lalapangan. Badannya tergeletak lemah, separuh tertindih reruntuhan bangunan rumahnya,
kaki kirinya tertimpa besi penyangga bangunan. Nyarih tak berbentuk, beruntung
nyawanya dapat tertolong. Tak lama setelah kami membidai kakinya, ambulans
datang dan membawa anak itu untuk tindakan lebih lanjut.
Rumah-rumah, swalayan,
tempat ibadah, sekolah, hampir semua rata dengan tanah. Gempa dengan kekuatan
6,2 skala Richter telah meluluh lantakkan semuanya. Gempa yang terjadi pukul
05.55 WIB selama 57 detik itu telah meninggalkan kesedihan bagi setiap orang
yang ada di sini. Bahkan kami, mendengar tangis mereka, kedinginan dalam senyap
malam. Jika aku mengingat dengan apa yang aku alami ketika pelaksanaan calon
anggota, tentu ini tak sebanding. Menjadi relawan ternyata tak mudah.
***
Seminggu berada di
Jogja, bukan untuk berlibur atau berbelanja. Kami melihat dari sisi yang
berbeda. Menyalurkan tenaga dan bantuan sesuai keahlian kami. Dari sinilah aku
belajar, melihat mereka, senyum-senyum yang tersembunyi dalam tenda. Senyum
pahit untuk hati yang ketakutan dengan hadirnya malam. Melihat mereka mengingat
semua yang terjadi, membuatku ingin menangis.
Suatu hari aku
berpikir, bahwa mereka, yang aku tolong, mungkin tidak akan mengingatku atau
bahkan hanya mengenal siapa namaku. Tapi bukan itu tujuan kami. Melihat mereka,
mengurangi beban yang mereka tanggung, sudah lebih dari cukup bagiku.
“Apakah kau sudah
makan?” Rangga membangunkan lamunanku.
“Ah? Sudah” jawabku
singkat sambil membenahi bajuku.
“Kau pintar berbohong
saat ini” Rangga memberikan roti kepadaku.
“Kau sendiri bahkan
tidak tidur selama tiga hari? Apa kau satria baja hitam?” tanpa alasan yang
jelas, emosiku meledak seketika. Rangga hanya tertawa.
Aku mengerti bahwa jiwa
menolongnya sangat tinggi, tetapi aku hanya ingin ia memperhatikan dirinya
sendiri. Bukankah mengutamakan keselamatan diri adalah hal paling penting
sebelum menolong?.
“Sudahlah.. pulanglah
nanti sore dengan rekan-rekan yang lain, mereka akan berangkat nanti pukul
empat” Rangga menepuk bahuku.
“Bagaimana denganmu?”
aku bertanya untuk meminta kepastian darinya.
“Aku akan ke Medan
terlebih dahulu” Rangga tersenyum, senyum yang tak pernah kulihat selama satu
minggu terakhir ini.
“Apa terjadi sesuatu
dengan orang tuamu?” aku semakin penasaran dengan senyum misterius Rangga.
“Aku akan membawa orang
tuaku ke rumahmu. Jadi tunggulah” aku tak dapat berkata-kata. Seketika tubuhku
terasa membeku, bahkan jariku tak dapat bergerak.
Beberapa orang pernah
berkata, bahwa tak ada yang lebih hangat dari pelukan dipagi hari, pelukan yang
akan memberimu semangat dan sebuah senyuman yang berarti. Rangga memberikannya
padaku. memberikannya pada semua korban yang ada di sini.
***
Tepat pukul delapan
malam, aku telah sampai di rumah. Tempat tidur nyaman yang lama tak kujumpai.
Bergegas ku kirim pesan pada seseorang yang sedang jauh.
To: Rangga
Kapan kau akan berangkat ke Medan?
Aku mencemaskanmu.
Lama Rangga tak
membalas, mungkin ia sedang melakukan sesuatu. Karena lelah, aku tertidur
dengan lelap. Pagi-pagi sekali aku terbangun, layar handphone adalah benda
pertama yang aku sapa.
From: Rangga
Aku akan berangkat siang ini pukul
sebelas
Apa ini? Bisa
kubayangkan ekspresi datarnya. Namun, aku tetap bersyukur mendapat kabar
darinya, setidaknya ada kejelasan.
***
Kecelakaan sebuah
pesawat Jogja menuju medan, semua penumpang dinyatakan meninggal.
Headline koran pagi
ini. Ingin rasanya aku menghapus semua tulisan yang ada di sana. Bahkan dengan
seluruh air mataku, waktu tak dapat diulang. Rangga, apa kau bodoh? Kau
menyelamatkan orang lain tetapi kau tak dapat menyelamatkan dirimu sendiri.
Kalimat yang selalu kuucapkan untuk menghibur diriku sendiri, sebelum malam
kembali datang. Rangga, siamo tuti frutelli, dan tersenyumlah.
0 komentar:
Posting Komentar