Langit
biru, indah dan tenang. Keindahan dan ketenangan yang tak pernah kulihat
sebelumnya. Sebelum aku mengenalnya dan benar-benar dapat melihat “langit
biru”.
Jika
takdir berkata lain. Jika waktu dapat diputar dan dihentikan. Jika aku tak
bertemu dengannya, aku tak dapat mengalami rasa sakit dan kesedihan. Dan kenangan yang menyedihkan. Tapi, jika aku
tak bertemu dengannya, aku juga tidak akan mengalami kegembiraan itu,
kesenangan, dan kenangan yang menyedihkan. Bahagia, dan keadaan yang sangat
membahagiakan. Apa kabar sekarang? Dan aku memutuskan untuk meneruskan
mencintai langit biru yang luas. Selalu mencintai langit biru yang luas.
Pada
saat itu, aku masih belum tahu cinta itu telah datang padaku. lima tahun yang
lalu, aku bertemu dengannya. Pertemuan yang tak pernah terduga.
“apa
kau melihat ponselku?” tanyaku pada Risa.
“aku
tak melihatnya, bagaimana bisa kau teledor meninggalkan ponselmu? Apa kau ingin
aku mencoba menghubungi nomormu lagi?” ucap Risa padaku dan aku hanya
mengangguk.
Seluruh
ruang di kelasku sudah aku lihat dengan rinci, di dalam loker, di bawah meja
dan seluruh sudut ruangan sudah kucari, namun aku tak dapat menemukan ponselku.
Tiba-tiba aku teringat...
“mungkin
aku menjatuhkannya di perpustakaan, aku akan kesana” teriakku pada Risa yang
saat itu duduk di meja.
Aku
berlari menuju perpustakaan, aku berharap masih ada yang berjaga di sana dan
perpustakaan belum terkunci. Aku berkeliling, dan akhirnya kutemukan ponselku
yang terletak diantara buku-buku dalam rak perpustakaan. Ponselku berdering,
tanpa menunggu waktu lama kuangkat ponselku yang kukira itu panggilan dari
Risa.
“Risa,
aku sudah menemukannya” ucapku bersemangat.
“oh,
jadi kau telah menemukannya? Syukurlah” aku tercengang, suara itu, aku tak
mengenalnya. Siapa dia? Apakah dia yang telah menemukan ponselku? Bagaimana dia
tahu jika ponsel ini milikku? Apa aku mengenalnya? Banyak sekali pertanyaan
yang melayang dikepalaku.
Setelah
kulihat, seluruh data diponselku menghilang. Kontak ataupun pesan sudah
terhapus, benar-benar tak ada yang tersisa. Tanpa berpikir panjang, kuhubungi
orang yang tadi meneleponku.
“mengapa
semua dataku diponsel menghilang?” tanyaku padanya setelah dia mengangkat
teleponku.
“apa
kau marah? Setelah aku mengembalikan ponselmu? Tenanglah, jika ada yang
memerlukanmu mereka yang akan menghubungimu” jawabnya datar padaku.
“siapa
kau sebenarnya” aku menjadi tak sabar berbicara dengannya.
“ra..ha..si..a...”
jawabnya sambil tertawa, kemudian panggilan berakhir.
Tidak
terasa, setiap hari aku berkomunikasi dengannya, menjadi lebih dekat dan lebih
akrab. Rasanya tak adil, ia mengenalku begitu dalam. Sedangkan aku tak
mengenalnya sama sekali. Jika aku mendengar suaranya, aku merasa dia adalah
orang yang baik. Ia selalu membuatku merasa ingin tersenyum, membuat hariku
lebih berwarna. Seseorang yang tak ku kenal, seseorang yang hanya kuketahui
suaranya. Aku ingin bertemu dengannya.
Dini
hari, ketika aku tertidur pulas, ponselku berdering..
“selamat
ulang tahun Mika” suara yang sangat aku kenal.
“kau
tahu hari ulang tahunku? Katakan dari mana kau tahu?” desakku padanya.
“suara
mengantukmu benar-benar manis, apa kau terbangun karena aku? Katakan apa yang
kau inginkan dihari ulang tahunmu” jantungku berdetak keras mendengar
ucapannya, aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya.
“aku
ingin bertemu denganmu” spontan perkataan itu muncul dariku, entah apa yang aku
pikirkan. Bahkan aku sendiri merasa belum siap bertemu dengannya.
“baik,
besok kita bertemu di kolam renang sekolah sebelum jam pelajaran dimulai.
Lihatlah langit biru di luar, dan fotolah. Itu akan menjadi kenangan pagi kita
berdua” ia menutup teleponnya. Dan aku melakukan apa yang ia minta.
Hari
ini aku akan bertemu dengannya, entah apa yang harus aku persiapkan. Aku tak
mengerti karena aku belum pernah berjanji untuk bertemu dengan lelaki
sebelumnya. Risa dan Aya membantuku berdandan di toilet sekolah. Aku
benar-benar merasa gugup. Dengan berjalan perlahan aku menuju ke kolam renang
sekolah, dan aku menunggunya datang. Aku berdiri dan memegang tasku erat-erat.
“Mika,
selamat ulang tahun. Apa kau berdandan? Ini tak seperti Mika yang aku kenal”
seseorang menghampiriku, ia membawa seikat bunga kecil berbentuk bulat dengan
kelopak berwarna putih. Sepertinya ia mengambil bunga itu di taman dekat
sekolah kami. Aku benar-benar tak percaya jika orang itu yang selama ini
berhubungan denganku lewat telepon, entah kecewa atau bagaimana. Aku
benar-benar tak percaya. Melihat ekspresiku, ia menunjukan ponselnya dan foto
langit biru dipagi hari.
“dengan
bukti ini apa kau masih tak percaya?” aku melihat ke arah ponselnya.
“ini
tak mungkin, pasti bukan kau orangnya. Bunga itu sangat menyedihkan” aku
berlari meninggalkannya sendiri. Aku bergegas menuju kelas karena jam pelajaran
hampir dimulai. Risa dan Aya bertanya siapa orang yang bertemu denganku. Aku
menceritakan kepada mereka, bahwa orang itu adalah Sandi, anak kelas X D.
Seseorang yang kuanggap menyeramkan. Bahkan Aya mengatakan bahwa Sandi sudah
memiliki pacar di sekolah lain.
Bel
berakhirnya pelajaran berbunyi, aku pulang dengan berjalan kaki. Sampai di
dekat taman tak jauh dari sekolahku, aku melihat Sandi berlari dan membawa
sekantung pupuk tanaman, entah apa yang akan ia lakukan. Aku mengikutinya
secara diam-diam. Aku tak menyangka, ternyata Sandi menanam kembali bunga yang
tadi hendak ia berikan padaku.
“aku
tak ingin bunga indah ini mati, aku memberi mereka banyak pupuk agar mereka
tetap hidup” Sandi berkata padaku, ternyata ia menyadari kehadiranku. Sandi
menyiram bunga-bunga kecil itu. Air keran menyiram seluruh kelopak mungil bunga
itu, cahaya matahari terpantul dan terlihat seperti pelangi di langit biru.
Sangat indah. Aku tersenyum.
“ini
hadiah untuk ulang tahunmu Mika” Sandi tersenyum kearahku.
Sandi
bisa dengan mudah memikat hatiku. Hati yang belum pernah kuberikan pada
siapapun sebelumnya. Hati yang selalu tertutup, sekarang pintunya terbuka
sangat lebar untuk seseorang bernama Sandi. Kemudian aku mengenal cinta.
Sandi
sangat menyukai sungai. Cinta pertamaku seperti sungai, menggulung ombak ke
depan, tapi menggulung jauh semuanya, bergerak seperti itu, tidak tahu kemana
perginya, aku tenggelam di sungai yang
mengalir yang disebut Sandi.
Ini
pertama kalinya aku mengalami sakit yang tak terasa. Dan benar-benar mengalami
sakit yang melukai hatiku. Ini pertama kalinya aku mencoba mengerti apa itu
cinta. Mencoba memahami bahwa cinta tak selamanya bahagia, akan ada rasa sakit
yang terselip rapi diantara bahagia itu. Akan ada derita yang tersembunyi
diantara sela suka duka cinta.
“Sandi
seperti sungai, terus mengalir ke depan” aku memegang erat tangan Sandi, kami
berdua duduk dan memandang sungai yang mengalir dengan tenang, ini adalah
tempat favorit Sandi, kami sering kesini.
“aku
lebih suka menjadi langit, jiak dibandingkan menjadi sungai. Karena dimanapun Mika
berada, aku bisa cepat menemukannya. Jika ada orang yang mengganggu Mika, aku akan
terbang dan memukul mereka” Sandi memelukku erat. Kami berjanji akan
mengunjungi tempat ini setahun sekali, dan menghanyutkan perahu kertas seperti
yang selama ini kami lakukan bersama.
Sinar
matahari perlahan-lahan menerangi daratan. Sinar matahari yang lembut. Kau
hanya bisa melihatnya setelah tersesat. Cahaya matahari ini, Sandi yang
membawakanyya untukku. Satu tahun berlalu dengan indah. Semuanya manis,
membuatku tersenyum setiap waktu. Hingga suatu ketika, semua hancur. Sinar
terang mendadak gelap sunyi. Sandi memutuskan hubungan kami, entah karena apa.
Aku bahkan tak mengerti apa kesalahan yang aku perbuat hingga Sandi tiba-tiba
membenciku dan ingin menjauhiku. Meskipun aku mencoba memperbaiki semuanya,
Sandi tak pernah memedulikan aku lagi. Ia bahkan melempar cincin kami, ia
melemparnya didepanku. Aku hancur, tanpa Sandi hariku menjadi sepi.
Siang
ini, ku genggam ponselku erat-erat. Kukirim sebuah pesan untuk Sandi.
Aku ingin bertemu sebelum jam
pelajaran dimulai.
Aku akan menunggumu di tempat
favoritmu, jika kau tak datang aku akan benar-benar menyerah dengan hubungan
ini.
Aku
berdiri sendiri menunggu Sandi, dan ia tak datang. Sandi benar-benar pergi.
Satu pesan kuterima, saat kubaca..
aku tak akan datang, tak perlu
menungguku.
aku tidak akan menghapus air matamu
lagi.
Sandi
adalah cinta pertamaku, aku tak pernah membayangkan jika mengakhiri sebuah
hubungan akan sepedih ini, tapi jika mengakhiri hubungan itu menyakitkan, maka
aku tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan jatuh cinta. Aku sangat terluka.
Dua
tahun berlalu, dua tahun tanpa cinta pertamaku. Dua tahun aku memandang langit
biru dengan perih yang tertahan dihati. Setelah waktu berlalu begitu lama,
seharusnya seseorang hisa melakukan banyak hal yang berbeda. Namun, berbeda
denganku. Aku yang terlalu mencintainya, tak mudah bagiku untuk melupakan semua
yang terjadi.
Di
sekolah aku terkadang melihat Sandi, terkadang kami berpapasan. Namun, ia
seolah-olah tak melihatku. Aku benar-benar menyerah, aku ingin melupakan semua
ini. Aku tak akan mengingatnya lagi, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku
hanya akan mengingatnya setahun sekali. Ditempat itu, dengan perahu kertas.
Akhir-akhir
ini aku sibuk dengan pelajaran tambahan agar diterima disalah satu universitas
yang aku inginkan. Risa mengenalkanku dengan salah seorang temannya yang
berkuliah di sana, namanya David. Aku sering bertemu dengan David, ia banyak
mengajariku untuk ujian di universitas nanti. David adalah lelaki yang baik, ia
tenang dan lembut. Sangat berbeda dengan seseorang yang dulu kukenal baik
dihati ini.
“jika
ada seseorang yang akan menyatakan cintanya padamu, seperti apa pernyataan
cinta yang kau inginkan?” tanya David padaku ketika kami berkunjung ke pantai
berdua.
“aku
ingin dia mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku dan memberiku seikat bunga”
“bunga
seperti apa?” tanya David untuk kedua kalinya.
“bunga
kecil dengan kelopak berwarna putih. Sangat indah” jawabku pelan.
David
seolah-olah dapat membaca pikiranku, di sampingnya aku merasa tenang. Aku
kembali mengenal cinta. Mengenal cinta dengan perlahan dan tenang.
“seseorang
yang pernah kucintai, dia seperti sungai. Gelombang membawa semuanya pergi.
Tidak pernah berhenti berjalan, dan aku ditinggalkannya” aku menatap ke arah
langit luas. David berbalik dan menatapku, dia memegang tanganku erat.
“Jadi
begitu, jika dia adalah sungai maka aku adalah laut. Tak peduli berapa kali,
aku pasti akan kembali dan tak akan meninggalkan Mika. Aku ingin menjadi laut”
David tersenyum padaku.
Cinta
keduaku sangat berbeda dengan Sandi, dia tenang, cinta yang lembut. David selalu
ramah. Seperti laut besar, dalam dan tenang. Merawat kedamaian itu.
Ketenangannya membuatku bangkit dari dalamnya kesedihan. Hariku berwarna
kembali berkat David.
Orang
tuaku sudah mengenal David, mereka tampak menyukainya. David memang ahli
memikat hati orang lain. Begitupun denganku, yang kemudian terpikat olehnya.
Waktu terus berjalan, cerita demi cerita silih berganti. Sungai akan terus
mengalir dan terus mengalir, tak peduli apa yang ikut hanyut dan terseret
arusnya.
Hari
ini, saatnya aku mengingat sesuatu. Membuat kapal kertas penuh harapan dan
menghanyutkannya dalam arus yang sama setiap tahunnya. David mengantarku ke
tempat itu, tempat favorit cinta pertamaku.
“hati-hati,
apa kau ingin aku menemanimu?”
“tak
perlu, aku hanya akan menghanyutkannya dan kembali kesini dalam waktu yang tak
lama. Tunggulah saja di sini” aku keluar dari mobil David. Sesampainya di tepi
sungai itu, aku melihat seseoranng yang sangat aku kenal dahulu. Ia sedang
menghanyutkan perahu kertas dengan harapan miliknya. Entah apa yang ia harapkan
dengan semua ini.
“aku
kira kau sudah melupakan semuanya” tanyaku pada Sandi.
“tidak
ada kenangan yang akan terlupakan” jawabnya tenang.
“wajahmu
pucat sekali? Apa kau tidak apa-apa?” aku metapnya lekat-lekat. Wajah yang dulu
memenuhi setiap ruang hatiku, terlihat pucat dan tak baik.
“sudahlah.
Aku akan pergi” Sandi hendak pergi meninggalkanku, sekali lagi meninggalkanku.
“mengapa
kau tak mau menjelaskan semuanya? Mengapa kau begitu egois dan menyakitiku
sedalam ini?” Sandi tak menjawab dan hanya berlalu melewatiku. Aku mengejarnya,
hingga pada persimpangan jalan aku mulai bimbang. Haruskah aku mengejar
seseorang yang bahkan tak pernah mengganggapku ada? Dan apa bedanya aku
dengannya jika aku berpaling dan meninggalkan David yang sedang menungguku saat
ini? Siapa yang akan aku pilih?. Aku berhenti, dan mengambil jalanku sendiri.
Pilihan yang aku ambil dari semua pelajaran tentang rasa sakit ini. Dan jika
aku memilih jalan lain, apa nasib akan berbeda? Apa aku tidak akan
kehilanganmu? Selamat tinggal Sandi, aku tak akan memikirkanmu lagi.
Hari
demi hari aku lewati dengan senyuman bersama David, saat ini aku kuliah di
universitas yang sama dengannya. Kami bertemu setiap hari. Hingga suatu hari,
aku bertemu dengan kakak Sandi yang kebetulan juga satu universitas dengan
David. Namanya Santi, ia adalah kakak perempuan Sandi. Di depanku ia tiba-tiba
menangis, aku tak mengerti mengapa ia menangis tersedu.
“tolonglah
adiku, aku benar-benar tak ingin kehilangan satu-satunya adik yang kumiliki”
apa maksud semua ini? Tanganku gemetar tak menentu, apa yang sebenarnya
terjadi? Santi melanjutkan perkataannya “Sandi menderita kanker, ia sekarat.
Setiap saat ia berkata bahwa hidupnya tak lama lagi, sebenarnya ia tak ingin
kamu mengetahui tentang hal ini. Tapi andai saja kau tahu bahwa dia selalu
menunggumu disaat terakhir hidupnya” ucapan kak Santi seperti tamparan keras
bagiku, mengapa ia berbohong dan menyembunyikan semuanya dariku? Jadi, alasan
ia meninggalkanku dan menjauhiku adalah karena ini? Betapa bodohnya dia.
David
tak melarangku bertemu dengan Sandi, bahkan sebelum aku pergi untuk menemui
Sandi ia berkata..
“Menghentikan
wanita yang aku cintai untuk menemukan kebahagiannya, aku memang bodoh. Jika
kau tidak bahagia, aku tidak akan memaafkannya, jika dia menyakitimu aku akan
melakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali. Pergilah sebelum aku menangis”
David benar-benar lelaki yang baik, tapi hatiku berkata lain.
Aku
berlari mencari ruang di mana Sandi dirawat. Kupandangi wajah pucatnya,
tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Sandi benar-benar bodoh, ia sangat bodoh.
Aku tak pernah mengerti dengan apa yang ia pikirkan.
“Bodoh,
bahkan kau masih memakai cincinnya, berhentilah berlagak kuat” bentakku
padanya.
“Aku
tahu kau akan menangis jika aku mengatakannya padamu. Cepatlah kembali, kembali
ke pacar dewasamu kau akan tersenyum bahagia. Itu sebabnya aku bisa pergi tanpa
khawatir. Mika, aku selalu mencoba menghindarimu, mencoba membuatmu menderita.
Maafkan aku. Terimakasih Mika,
berjanjilah kau akan bahagia” ucap Sandi padaku.
“Itu
tak mungkin, aku hanya bahagia jika bersamamu. Aku akan selalu.... selalu
mencintaimu” aku menangis dalam pelukan Sandi, pelukan yang selalu
menenggelamkanku dengan arusnya.
Ini
seperti berlari di lingkaran besar, sekuat dan sekencang apapun kita berlari
pada akhirnya kita akan tetap berhenti disebuah tempat, kita akhirnya tiba di
tempat yang benar-benar kita inginkan. Kita saling lihat setiap hari,
seolah-olah kita ingin menebus hari-hari yang sudah terlewati. Tuhan, tolong
jangan ambil Sandi. Jangan ambil cinta pertamaku. Tak peduli berapapun cobaan
akan aku terima.
Pada
akhirnya, cinta pertamaku benar-benar hanyut. Ia pergi ke muara dan aku tak
dapat menyusulnya. Tapi aku yakin, suatu saat nanti kami akan bertemu dihari
yang bahagia. Dan saat itu kami akan bersatu.
Kuputuskan
bahwa aku harus terus bahagia. Saat bahagiaku yang aku lewati bersama Sandi
tidak menjadi kenangan. Karena apapun yang aku rasakan, kau ada disampingku.
Sandi, aku tetap mencintai langit biru. Mulai hari ini dan selalu, cinta ini
yang terakhir. Selamanya.
0 komentar:
Posting Komentar