Jumat, 24 Oktober 2014

LANGIT BIRU



Langit biru, indah dan tenang. Keindahan dan ketenangan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Sebelum aku mengenalnya dan benar-benar dapat melihat “langit biru”.
Jika takdir berkata lain. Jika waktu dapat diputar dan dihentikan. Jika aku tak bertemu dengannya, aku tak dapat mengalami rasa sakit dan kesedihan.  Dan kenangan yang menyedihkan. Tapi, jika aku tak bertemu dengannya, aku juga tidak akan mengalami kegembiraan itu, kesenangan, dan kenangan yang menyedihkan. Bahagia, dan keadaan yang sangat membahagiakan. Apa kabar sekarang? Dan aku memutuskan untuk meneruskan mencintai langit biru yang luas. Selalu mencintai langit biru yang luas.
Pada saat itu, aku masih belum tahu cinta itu telah datang padaku. lima tahun yang lalu, aku bertemu dengannya. Pertemuan yang tak pernah terduga.
“apa kau melihat ponselku?” tanyaku pada Risa.
“aku tak melihatnya, bagaimana bisa kau teledor meninggalkan ponselmu? Apa kau ingin aku mencoba menghubungi nomormu lagi?” ucap Risa padaku dan aku hanya mengangguk.
Seluruh ruang di kelasku sudah aku lihat dengan rinci, di dalam loker, di bawah meja dan seluruh sudut ruangan sudah kucari, namun aku tak dapat menemukan ponselku. Tiba-tiba aku teringat...
“mungkin aku menjatuhkannya di perpustakaan, aku akan kesana” teriakku pada Risa yang saat itu duduk di meja.
Aku berlari menuju perpustakaan, aku berharap masih ada yang berjaga di sana dan perpustakaan belum terkunci. Aku berkeliling, dan akhirnya kutemukan ponselku yang terletak diantara buku-buku dalam rak perpustakaan. Ponselku berdering, tanpa menunggu waktu lama kuangkat ponselku yang kukira itu panggilan dari Risa.
“Risa, aku sudah menemukannya” ucapku bersemangat.
“oh, jadi kau telah menemukannya? Syukurlah” aku tercengang, suara itu, aku tak mengenalnya. Siapa dia? Apakah dia yang telah menemukan ponselku? Bagaimana dia tahu jika ponsel ini milikku? Apa aku mengenalnya? Banyak sekali pertanyaan yang melayang dikepalaku.
Setelah kulihat, seluruh data diponselku menghilang. Kontak ataupun pesan sudah terhapus, benar-benar tak ada yang tersisa. Tanpa berpikir panjang, kuhubungi orang yang tadi meneleponku.
“mengapa semua dataku diponsel menghilang?” tanyaku padanya setelah dia mengangkat teleponku.
“apa kau marah? Setelah aku mengembalikan ponselmu? Tenanglah, jika ada yang memerlukanmu mereka yang akan menghubungimu” jawabnya datar padaku.
“siapa kau sebenarnya” aku menjadi tak sabar berbicara dengannya.
“ra..ha..si..a...” jawabnya sambil tertawa, kemudian panggilan berakhir.
Tidak terasa, setiap hari aku berkomunikasi dengannya, menjadi lebih dekat dan lebih akrab. Rasanya tak adil, ia mengenalku begitu dalam. Sedangkan aku tak mengenalnya sama sekali. Jika aku mendengar suaranya, aku merasa dia adalah orang yang baik. Ia selalu membuatku merasa ingin tersenyum, membuat hariku lebih berwarna. Seseorang yang tak ku kenal, seseorang yang hanya kuketahui suaranya. Aku ingin bertemu dengannya.
Dini hari, ketika aku tertidur pulas, ponselku berdering..
“selamat ulang tahun Mika” suara yang sangat aku kenal.
“kau tahu hari ulang tahunku? Katakan dari mana kau tahu?” desakku padanya.
“suara mengantukmu benar-benar manis, apa kau terbangun karena aku? Katakan apa yang kau inginkan dihari ulang tahunmu” jantungku berdetak keras mendengar ucapannya, aku berpikir keras untuk menjawab pertanyaannya.
“aku ingin bertemu denganmu” spontan perkataan itu muncul dariku, entah apa yang aku pikirkan. Bahkan aku sendiri merasa belum siap bertemu dengannya.
“baik, besok kita bertemu di kolam renang sekolah sebelum jam pelajaran dimulai. Lihatlah langit biru di luar, dan fotolah. Itu akan menjadi kenangan pagi kita berdua” ia menutup teleponnya. Dan aku melakukan apa yang ia minta.
Hari ini aku akan bertemu dengannya, entah apa yang harus aku persiapkan. Aku tak mengerti karena aku belum pernah berjanji untuk bertemu dengan lelaki sebelumnya. Risa dan Aya membantuku berdandan di toilet sekolah. Aku benar-benar merasa gugup. Dengan berjalan perlahan aku menuju ke kolam renang sekolah, dan aku menunggunya datang. Aku berdiri dan memegang tasku erat-erat.
“Mika, selamat ulang tahun. Apa kau berdandan? Ini tak seperti Mika yang aku kenal” seseorang menghampiriku, ia membawa seikat bunga kecil berbentuk bulat dengan kelopak berwarna putih. Sepertinya ia mengambil bunga itu di taman dekat sekolah kami. Aku benar-benar tak percaya jika orang itu yang selama ini berhubungan denganku lewat telepon, entah kecewa atau bagaimana. Aku benar-benar tak percaya. Melihat ekspresiku, ia menunjukan ponselnya dan foto langit biru dipagi hari.
“dengan bukti ini apa kau masih tak percaya?” aku melihat ke arah ponselnya.
“ini tak mungkin, pasti bukan kau orangnya. Bunga itu sangat menyedihkan” aku berlari meninggalkannya sendiri. Aku bergegas menuju kelas karena jam pelajaran hampir dimulai. Risa dan Aya bertanya siapa orang yang bertemu denganku. Aku menceritakan kepada mereka, bahwa orang itu adalah Sandi, anak kelas X D. Seseorang yang kuanggap menyeramkan. Bahkan Aya mengatakan bahwa Sandi sudah memiliki pacar di sekolah lain.
Bel berakhirnya pelajaran berbunyi, aku pulang dengan berjalan kaki. Sampai di dekat taman tak jauh dari sekolahku, aku melihat Sandi berlari dan membawa sekantung pupuk tanaman, entah apa yang akan ia lakukan. Aku mengikutinya secara diam-diam. Aku tak menyangka, ternyata Sandi menanam kembali bunga yang tadi hendak ia berikan padaku.
“aku tak ingin bunga indah ini mati, aku memberi mereka banyak pupuk agar mereka tetap hidup” Sandi berkata padaku, ternyata ia menyadari kehadiranku. Sandi menyiram bunga-bunga kecil itu. Air keran menyiram seluruh kelopak mungil bunga itu, cahaya matahari terpantul dan terlihat seperti pelangi di langit biru. Sangat indah. Aku tersenyum.
“ini hadiah untuk ulang tahunmu Mika” Sandi tersenyum kearahku.
Sandi bisa dengan mudah memikat hatiku. Hati yang belum pernah kuberikan pada siapapun sebelumnya. Hati yang selalu tertutup, sekarang pintunya terbuka sangat lebar untuk seseorang bernama Sandi. Kemudian aku mengenal cinta.
Sandi sangat menyukai sungai. Cinta pertamaku seperti sungai, menggulung ombak ke depan, tapi menggulung jauh semuanya, bergerak seperti itu, tidak tahu kemana perginya,  aku tenggelam di sungai yang mengalir yang disebut Sandi.
Ini pertama kalinya aku mengalami sakit yang tak terasa. Dan benar-benar mengalami sakit yang melukai hatiku. Ini pertama kalinya aku mencoba mengerti apa itu cinta. Mencoba memahami bahwa cinta tak selamanya bahagia, akan ada rasa sakit yang terselip rapi diantara bahagia itu. Akan ada derita yang tersembunyi diantara sela suka duka cinta.
“Sandi seperti sungai, terus mengalir ke depan” aku memegang erat tangan Sandi, kami berdua duduk dan memandang sungai yang mengalir dengan tenang, ini adalah tempat favorit Sandi, kami sering kesini.
“aku lebih suka menjadi langit, jiak dibandingkan menjadi sungai. Karena dimanapun Mika berada, aku bisa cepat menemukannya. Jika ada orang yang mengganggu Mika, aku akan terbang dan memukul mereka” Sandi memelukku erat. Kami berjanji akan mengunjungi tempat ini setahun sekali, dan menghanyutkan perahu kertas seperti yang selama ini kami lakukan bersama.
Sinar matahari perlahan-lahan menerangi daratan. Sinar matahari yang lembut. Kau hanya bisa melihatnya setelah tersesat. Cahaya matahari ini, Sandi yang membawakanyya untukku. Satu tahun berlalu dengan indah. Semuanya manis, membuatku tersenyum setiap waktu. Hingga suatu ketika, semua hancur. Sinar terang mendadak gelap sunyi. Sandi memutuskan hubungan kami, entah karena apa. Aku bahkan tak mengerti apa kesalahan yang aku perbuat hingga Sandi tiba-tiba membenciku dan ingin menjauhiku. Meskipun aku mencoba memperbaiki semuanya, Sandi tak pernah memedulikan aku lagi. Ia bahkan melempar cincin kami, ia melemparnya didepanku. Aku hancur, tanpa Sandi hariku menjadi sepi.
Siang ini, ku genggam ponselku erat-erat. Kukirim sebuah pesan untuk Sandi.
Aku ingin bertemu sebelum jam pelajaran dimulai.
Aku akan menunggumu di tempat favoritmu, jika kau tak datang aku akan benar-benar menyerah dengan hubungan ini.
Aku berdiri sendiri menunggu Sandi, dan ia tak datang. Sandi benar-benar pergi. Satu pesan kuterima, saat kubaca..
aku tak akan datang, tak perlu menungguku.
aku tidak akan menghapus air matamu lagi.
Sandi adalah cinta pertamaku, aku tak pernah membayangkan jika mengakhiri sebuah hubungan akan sepedih ini, tapi jika mengakhiri hubungan itu menyakitkan, maka aku tidak akan jatuh cinta lagi. Tidak akan jatuh cinta. Aku sangat terluka.
Dua tahun berlalu, dua tahun tanpa cinta pertamaku. Dua tahun aku memandang langit biru dengan perih yang tertahan dihati. Setelah waktu berlalu begitu lama, seharusnya seseorang hisa melakukan banyak hal yang berbeda. Namun, berbeda denganku. Aku yang terlalu mencintainya, tak mudah bagiku untuk melupakan semua yang terjadi.
Di sekolah aku terkadang melihat Sandi, terkadang kami berpapasan. Namun, ia seolah-olah tak melihatku. Aku benar-benar menyerah, aku ingin melupakan semua ini. Aku tak akan mengingatnya lagi, aku berjanji pada diriku sendiri. Aku hanya akan mengingatnya setahun sekali. Ditempat itu, dengan perahu kertas.
Akhir-akhir ini aku sibuk dengan pelajaran tambahan agar diterima disalah satu universitas yang aku inginkan. Risa mengenalkanku dengan salah seorang temannya yang berkuliah di sana, namanya David. Aku sering bertemu dengan David, ia banyak mengajariku untuk ujian di universitas nanti. David adalah lelaki yang baik, ia tenang dan lembut. Sangat berbeda dengan seseorang yang dulu kukenal baik dihati ini.
“jika ada seseorang yang akan menyatakan cintanya padamu, seperti apa pernyataan cinta yang kau inginkan?” tanya David padaku ketika kami berkunjung ke pantai berdua.
“aku ingin dia mengatakan bahwa dia sangat mencintaiku dan memberiku seikat bunga”
“bunga seperti apa?” tanya David untuk kedua kalinya.
“bunga kecil dengan kelopak berwarna putih. Sangat indah” jawabku pelan.
David seolah-olah dapat membaca pikiranku, di sampingnya aku merasa tenang. Aku kembali mengenal cinta. Mengenal cinta dengan perlahan dan tenang.
“seseorang yang pernah kucintai, dia seperti sungai. Gelombang membawa semuanya pergi. Tidak pernah berhenti berjalan, dan aku ditinggalkannya” aku menatap ke arah langit luas. David berbalik dan menatapku, dia memegang tanganku erat.
“Jadi begitu, jika dia adalah sungai maka aku adalah laut. Tak peduli berapa kali, aku pasti akan kembali dan tak akan meninggalkan Mika. Aku ingin menjadi laut” David tersenyum padaku.
Cinta keduaku sangat berbeda dengan Sandi, dia tenang, cinta yang lembut. David selalu ramah. Seperti laut besar, dalam dan tenang. Merawat kedamaian itu. Ketenangannya membuatku bangkit dari dalamnya kesedihan. Hariku berwarna kembali berkat David.
Orang tuaku sudah mengenal David, mereka tampak menyukainya. David memang ahli memikat hati orang lain. Begitupun denganku, yang kemudian terpikat olehnya. Waktu terus berjalan, cerita demi cerita silih berganti. Sungai akan terus mengalir dan terus mengalir, tak peduli apa yang ikut hanyut dan terseret arusnya.
Hari ini, saatnya aku mengingat sesuatu. Membuat kapal kertas penuh harapan dan menghanyutkannya dalam arus yang sama setiap tahunnya. David mengantarku ke tempat itu, tempat favorit cinta pertamaku.
“hati-hati, apa kau ingin aku menemanimu?”
“tak perlu, aku hanya akan menghanyutkannya dan kembali kesini dalam waktu yang tak lama. Tunggulah saja di sini” aku keluar dari mobil David. Sesampainya di tepi sungai itu, aku melihat seseoranng yang sangat aku kenal dahulu. Ia sedang menghanyutkan perahu kertas dengan harapan miliknya. Entah apa yang ia harapkan dengan semua ini.
“aku kira kau sudah melupakan semuanya” tanyaku pada Sandi.
“tidak ada kenangan yang akan terlupakan” jawabnya tenang.
“wajahmu pucat sekali? Apa kau tidak apa-apa?” aku metapnya lekat-lekat. Wajah yang dulu memenuhi setiap ruang hatiku, terlihat pucat dan tak baik.
“sudahlah. Aku akan pergi” Sandi hendak pergi meninggalkanku, sekali lagi meninggalkanku.
“mengapa kau tak mau menjelaskan semuanya? Mengapa kau begitu egois dan menyakitiku sedalam ini?” Sandi tak menjawab dan hanya berlalu melewatiku. Aku mengejarnya, hingga pada persimpangan jalan aku mulai bimbang. Haruskah aku mengejar seseorang yang bahkan tak pernah mengganggapku ada? Dan apa bedanya aku dengannya jika aku berpaling dan meninggalkan David yang sedang menungguku saat ini? Siapa yang akan aku pilih?. Aku berhenti, dan mengambil jalanku sendiri. Pilihan yang aku ambil dari semua pelajaran tentang rasa sakit ini. Dan jika aku memilih jalan lain, apa nasib akan berbeda? Apa aku tidak akan kehilanganmu? Selamat tinggal Sandi, aku tak akan memikirkanmu lagi.
Hari demi hari aku lewati dengan senyuman bersama David, saat ini aku kuliah di universitas yang sama dengannya. Kami bertemu setiap hari. Hingga suatu hari, aku bertemu dengan kakak Sandi yang kebetulan juga satu universitas dengan David. Namanya Santi, ia adalah kakak perempuan Sandi. Di depanku ia tiba-tiba menangis, aku tak mengerti mengapa ia menangis tersedu.
“tolonglah adiku, aku benar-benar tak ingin kehilangan satu-satunya adik yang kumiliki” apa maksud semua ini? Tanganku gemetar tak menentu, apa yang sebenarnya terjadi? Santi melanjutkan perkataannya “Sandi menderita kanker, ia sekarat. Setiap saat ia berkata bahwa hidupnya tak lama lagi, sebenarnya ia tak ingin kamu mengetahui tentang hal ini. Tapi andai saja kau tahu bahwa dia selalu menunggumu disaat terakhir hidupnya” ucapan kak Santi seperti tamparan keras bagiku, mengapa ia berbohong dan menyembunyikan semuanya dariku? Jadi, alasan ia meninggalkanku dan menjauhiku adalah karena ini? Betapa bodohnya dia.
David tak melarangku bertemu dengan Sandi, bahkan sebelum aku pergi untuk menemui Sandi ia berkata..
“Menghentikan wanita yang aku cintai untuk menemukan kebahagiannya, aku memang bodoh. Jika kau tidak bahagia, aku tidak akan memaafkannya, jika dia menyakitimu aku akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu kembali. Pergilah sebelum aku menangis” David benar-benar lelaki yang baik, tapi hatiku berkata lain.
Aku berlari mencari ruang di mana Sandi dirawat. Kupandangi wajah pucatnya, tubuhnya terbaring lemas tak berdaya. Sandi benar-benar bodoh, ia sangat bodoh. Aku tak pernah mengerti dengan apa yang ia pikirkan.
“Bodoh, bahkan kau masih memakai cincinnya, berhentilah berlagak kuat” bentakku padanya.
“Aku tahu kau akan menangis jika aku mengatakannya padamu. Cepatlah kembali, kembali ke pacar dewasamu kau akan tersenyum bahagia. Itu sebabnya aku bisa pergi tanpa khawatir. Mika, aku selalu mencoba menghindarimu, mencoba membuatmu menderita. Maafkan aku.  Terimakasih Mika, berjanjilah kau akan bahagia” ucap Sandi padaku.
“Itu tak mungkin, aku hanya bahagia jika bersamamu. Aku akan selalu.... selalu mencintaimu” aku menangis dalam pelukan Sandi, pelukan yang selalu menenggelamkanku dengan arusnya.
Ini seperti berlari di lingkaran besar, sekuat dan sekencang apapun kita berlari pada akhirnya kita akan tetap berhenti disebuah tempat, kita akhirnya tiba di tempat yang benar-benar kita inginkan. Kita saling lihat setiap hari, seolah-olah kita ingin menebus hari-hari yang sudah terlewati. Tuhan, tolong jangan ambil Sandi. Jangan ambil cinta pertamaku. Tak peduli berapapun cobaan akan aku terima.
Pada akhirnya, cinta pertamaku benar-benar hanyut. Ia pergi ke muara dan aku tak dapat menyusulnya. Tapi aku yakin, suatu saat nanti kami akan bertemu dihari yang bahagia. Dan saat itu kami akan bersatu.
Kuputuskan bahwa aku harus terus bahagia. Saat bahagiaku yang aku lewati bersama Sandi tidak menjadi kenangan. Karena apapun yang aku rasakan, kau ada disampingku. Sandi, aku tetap mencintai langit biru. Mulai hari ini dan selalu, cinta ini yang terakhir. Selamanya.

0 komentar:

Kunang Biru © 2008 Por *Templates para Você*