Jumat, 31 Oktober 2014

Inter Arma Caritas (Versi 2)

Inter Arma Caritas (Versi 2)
Oleh : Khamdanah



Inter arma caritas!!” teriak kami bersama-sama.
Solverino” terdengar jawaban dari jarak 100 meter. Kami melanjutkan perjalanan, meskipun lelah kami tetap berjalan. Tanpa sadar aku melamun
Siamo!!!” suara lantang dan membuyarkan semua lamunan.
Siamo....” jawab kami bersama-sama.
***
“Bu, tolonglah.. satu lagi, hanya satu lagi” pinta Rana merengek. Tapi sepertinya ibu tersebut tak mendengarkannya sama sekali.
“Maaf mbak, saya harus mengantar anak saya latihan tari sekarang, silakan cari tempat lain” kemudian pemilik tempat fotokopi itu bergegas berkemas dan mengambil kunci pintu. Aku hanya tertunduk lemah, cocard yang harus aku bawa untuk penerimaan calon anggota sebuah UKM di sebuah universitas, belum selesai ku buat, ibu fotokopian itu tidak mau menerima permintaan laminating cocardku. Disudut ruangan kulihat lelaki itu memegangi cocard miliknya dengan wajah lesu.
“Apa benar-benar tidak bisa Bu?” tanya lelaki itu pada ibu pemilik tempat fotokopi. “dia mengatakan hal yang sia-sia!” batinku berteriak.
“Duh Mas.. Mas.. kan sudah saya jelaskan tadi sama mbaknya, saya tidak bisa. Silahkan cari tempat lain”. Jelas ibu itu dengan nada kesal.
“Yasudah Bu terimakasih” ucapku datar menimpali percakapan mereka.
“Iya mbak, mas, sekali lagi saya minta maaf” ibu pemilik foto kopi kemudian mengambil tasnya dan bergegas keluar, kami berdua mengikutinya dari belakang.
Pada akhirnya kami gagal membujuk ibu pemilik tempat fotokopi untuk melaminating cocard kami. Tanpa sengaja, kuamati cocardnya dan sama persis dengan milikku. Hanya saja ia belum memakai pakaian yang sudah ditentukan oleh panitia. Tanpa pikir panjang aku mengajukan pertanyaan padanya
Cocard kita sama, apa kau juga calon anggota?” tanyaku padanya
“Iya” jawabnya singkat dan tersenyum manis, jika dilihat-lihat dia adalah lelaki yang manis. Tapi, bukan saatnya untuk berpikir demikian pada saat genting seperti ini, sekarang menunjukan pukul 07.13 dan aku harus sampai di tempat perkemahan pada pukul 07.30. sudah tidak ada waktu lagi bahkan untuk sekadar melamun.
“Yuk cari tempat fotokopi lain” ucapku sambil menarik lengannya, lelaki itu terlihat canggung, ia tak beranjak dari tempatnya berdiri.”ayuk, kita akan telat jika tak bergegas! Apa kau ingin dihukum?” timpalku lagi.
“Oh.. iya” dia melangkah dan menarik lenganku. Simpulannya? Mengapa kami berdua menjadi saling tarik menarik lengan? Pikirku dalam hati.
Lelaki itu ternyata membawa motor, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di belakangnya, ia tampak bingung kembali. Aku tak menghiraukan, kukatakan padanya bahwa sebaiknya dia bergegas mencari tempat fotokopian. Mungkin dia berpikir bahwa aku adalah wanita yang aneh, membonceng seorang lelaki yang bahkan belum tahu namanya itu. Tapi ini adalah keadaan mendesak, aku tak memikirkan hal-hal lain selain aku sampai di tempat itu dengan tepat waktu. Dalam perjalan lelaki itu bercerita bahwa ia sudah mengelilingi lingkungan kampus dan tidak menemukan satupun fotokopian yang buka karena tempat fotokopi memang buka agak siang, sehingga kami harus mencari ke tempat yang lebih jauh lagi. Setelah berkeliling, pada akhirnya, kami menemukan tempat fotokopian yang baru saja dibuka. Kami selamat dari bercana, setidaknya untuk saat ini. Sambil menunggu cocard selesai dilaminating, aku memulai percakapan dengannya.
“Mengapa kau tidak memakai pakaian yang ditentukan? Sebaiknya kau menggantinya sekarang, masih ada waktu!” ucapku dengan maksud sedikit memberikan solusi.
“Tak apa, nanti saja aku menggatinya” jawabnya dengan muka misterius.
“Tapi kau akan telat!” aku tak ingin kalah beradu argumen saat ini.
“Bukankah anak lelaki sebaiknya telat?” jawaban singkat dan menyakitkan. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Alih-alih memalingkan wajah memandangi mas-mas tukang fotokopi.
“Bolehkah aku memintamu mengantarku?” kali ini aku memintanya dengan tulus. Aku hanya tidak ingin telat, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu.
“Baiklah..” lelaki itu menjawab dengan wajah datar, entah ia rela atau tidak, aku tidak peduli. Aku hanya ingin cari aman.
“Sungguh? Terimakasih...” kemudian dia mengantarku. Sesampainya di gerbang universitas, aku turun dari motornya, sebelum dia pergi kuucapkan kata terimakasih untuk kedua kalinya, setidaknya dia telah menyalamatkanku dari hukuman para senior yang galaknya melebihi satpam kampus dan sensitifnya melebihi ibu-ibu yang sedang mengendarai motor di jalan, membunyikan klakson setiap waktu, entah apa alsannya. Namun, itu sangat menggangu.
“Aku Rana” aku memperkenalkan diri karena sedari tadi dia tidak mengajakku berkenalan, sehingga aku mengeluarkan inisiatif  ini.
“Rangga..” dan kemudian kami berpisah di sini.
Meskipun pada akhirnya kami akan sering bertemu. Namun, semua diawali dan diakhiri di sini.
***
Kami adalah sukarelawan, kamilah Korp Sukarela atau biasa dipanggil KSR. Kami membantu orang-orang yang memerlukan bantuan, kami tidak dibayar. Kami melakukan semua dengan sukarela, berharap keadaan akan membaik jika kami ada. Kami membawa prinsip-prinsip kemanusiaan, kami beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial, kami semua sama, kami semua rata, karena itu kami wajib membantu sesama yang membutuhkan bantuan kami.
Kami menyalurkan bantuan dari tangan-tangan yang peduli dengan saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan bantuan. Kami adalah salah satu jalan diantara jalan-jalan yang saling berhubungan, menghilangkan jarak yang berarti dan menenggelamkan kecanggungan atau intimidasi sosial. Sekali lagi, kita semua sama rata, kita semua adalah saudara.
***
“Jangan manja!! Kalian ini calon penolong!!! Bukan orang yang harus ditolong! Camkan itu dalam-dalam dipikiran kalian!” bentak senior yang menjabat sebagai koordinator lapangan yang horornya seperti tokoh Dugong dalam cerita Putri Duyung, begitulah pikirku. Bagaimana tidak, ia membentak tepat ditelingaku hingga rasanya telingaku berdenging seketika itu dan masih dapat merasakan dengingan di telaku hingga beberapa hari kemudian.
“Hey! Kamu lari cepet! Baru lari di medan biasa saja ngeluh! Gimana kalo ke medan bencana! Dipikir! Kalo tidak siap pulang saja sana! Manja!!!” bentak Dugong-dugong yang lain. Dugong-dugong yang memiliki pemikiran dan maksud serta tujuan yang sama, yaitu menyiksa juniornya, merasa dirinya adalah simbol nyata yang dapat dicontoh dan dipelajari. Segelumit pikiran yang berjalan-jalan di alam bawah sadarku, terkadang aku tersenyum sendiri. Membayangkan dugong-dugong itu berlatih agar terlihat menyeramkan di hadapan kami.
Kami dilatih untuk mandiri, kami dilatih untuk sadar dengan keadaan. Peka dengan lingkungan. Kami dilatih agar dapat bertahan dalam keadaan apapun. Kami dilatih bertahan dalam medan bencana, bukan di tempat yang dikelilingi kenyamanan dan fasilitas yang sinkron dengan kemewahan. Tidak, tidak seperti itu.
***
Di tengah malam, dingin terasa masuk ke dalam tulang-tulang kering yang kelelahan. Tulang-tulang rusuk bahkan ikut berderik karena terlalu dipaksakan untuk bertahan. Di tengah hutan, kami mendapat amanat membawa sekantung darah yang harus dibawa hingga pos terakhir. Darah harus aman, tidak boleh hilang, terjatuh, pecah, atau bahkan bocor sedikitpun. kami melindunginya dengan segala upaya yang ada. Bertahan dan bertahan.
Kami terus berjalan, melewati setiap lekuk bumi, tanjakan dan turunan yang curam. Sungai yang mengalir deras, struktur tanah yang tidak menentu, harus kami lewati agar sampai hingga pos terakhir. Perjalanan tidaklah mudah, tetapi kami tetap berjalan dan terus berjalan. Kami adalah calon sukarelawan.
Bahkan kami harus memakan mie instan dengan tangan kosong yang sudah disiram dengan air terasi, sedang tangan kiri memegang belatung. Jika aku berpikir ulang, apa maksud semua itu dengan gerakan sukarela?. Namun, aku menemukan jawaban bahwa ketika menolong orang lain, akan ada banyak hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan. Bahwa tidak semua yang kita inginkan akan menjadi kenyataan, masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan.
***
Hari-haripun berganti, aku masih tetap disini dan menunggu. Aku yang selalu seperti ini, akan tetap seperti ini. Angin melewati setiap sela-sela jariku. Cahaya yang meredup entah di tempat ini atau di hatiku. Aku tetap volunter, kita volunter, kami semua volunter, kita semua volunter. Rangga.
***
27 Mei 2006
“Kita membutuhkan lebih banyak mitela, ini tidak akan cukup” ucap Rangga tergesa-gesa. Aku memegangi erat kaki korban.
“Ini adalah patah tulang terbuka, kita tak akan membiarkannya terus seperti ini. Keadaan akan memburuk, kita tidak bisa memastikan apakah akan ada gempa susulan lagi” tampak jelas kekhawatiran diwajah Rangga, ia terlihat sangat cemas. Sambil membuat cincin dengan menggunakan mitela untuk menutup tulang patah yang terbuka.
“Ini adalah perdarahan serius, kita perlu menghentikan perdarahan agar korban tertolong” ucapku membalas Rangga. Ia tak menoleh, tentu ucapanku sudah ada dikepalanya bahkan tanpa aku menjelaskan kepadanya. Kecakapan dan pengetahuannya tentang pertolongan jauh lebih baik dibandingkan denganku.
“Kita harus hentikan aliran darah keseluruhan” ucap Rangga serius.
“Apa kau gila? Dia anak-anak, jika kita lakukan itu maka kakinya akan diamputasi, apa kau tega melihat anak delapan tahun pergi ke sekolah dengan menggunakan tongkat?” jawabku setengah membentak.
“Lalu apakah kau ingin anak ini tidak besekolah untuk selamanya?” aku hanya terdiam, Rangga benar bahwa jika tidak dilakukan penghentian perdarahan maka nyawa anak ini tidak akan tertolong. Anak laki-laki berusia delapan tahun yang seharusnya sedang asyik bermain layang-layang atau sepak bola bersama teman-temannya di lalapangan. Badannya tergeletak lemah, separuh tertindih reruntuhan bangunan rumahnya, kaki kirinya tertimpa besi penyangga bangunan. Nyarih tak berbentuk, beruntung nyawanya dapat tertolong. Tak lama setelah kami membidai kakinya, ambulans datang dan membawa anak itu untuk tindakan lebih lanjut.
Rumah-rumah, swalayan, tempat ibadah, sekolah, hampir semua rata dengan tanah. Gempa dengan kekuatan 6,2 skala Richter telah meluluh lantakkan semuanya. Gempa yang terjadi pukul 05.55 WIB selama 57 detik itu telah meninggalkan kesedihan bagi setiap orang yang ada di sini. Bahkan kami, mendengar tangis mereka, kedinginan dalam senyap malam. Jika aku mengingat dengan apa yang aku alami ketika pelaksanaan calon anggota, tentu ini tak sebanding. Menjadi relawan ternyata tak mudah.
***
Seminggu berada di Jogja, bukan untuk berlibur atau berbelanja. Kami melihat dari sisi yang berbeda. Menyalurkan tenaga dan bantuan sesuai keahlian kami. Dari sinilah aku belajar, melihat mereka, senyum-senyum yang tersembunyi dalam tenda. Senyum pahit untuk hati yang ketakutan dengan hadirnya malam. Melihat mereka mengingat semua yang terjadi, membuatku ingin menangis.

Suatu hari aku berpikir, bahwa mereka, yang aku tolong, mungkin tidak akan mengingatku atau bahkan hanya mengenal siapa namaku. Tapi bukan itu tujuan kami. Melihat mereka, mengurangi beban yang mereka tanggung, sudah lebih dari cukup bagiku.

“Apakah kau sudah makan?” Rangga membangunkan lamunanku.
“Ah? Sudah” jawabku singkat sambil membenahi bajuku.
“Kau pintar berbohong saat ini” Rangga memberikan roti kepadaku.
“Kau sendiri bahkan tidak tidur selama tiga hari? Apa kau satria baja hitam?” tanpa alasan yang jelas, emosiku meledak seketika. Rangga hanya tertawa.

Aku mengerti bahwa jiwa menolongnya sangat tinggi, tetapi aku hanya ingin ia memperhatikan dirinya sendiri. Bukankah mengutamakan keselamatan diri adalah hal paling penting sebelum menolong?.
“Sudahlah.. pulanglah nanti sore dengan rekan-rekan yang lain, mereka akan berangkat nanti pukul empat” Rangga menepuk bahuku.
“Bagaimana denganmu?” aku bertanya untuk meminta kepastian darinya.
“Aku akan ke Medan terlebih dahulu” Rangga menjawab dengan keyakinan penuh dipikrannya. Terlihat sangat jelas.
“Apa terjadi sesuatu dengan orang tuamu?” aku semakin penasaran.
“Aku akan menemui volunter-volunter di sana, ada beberapa orang dari universitas di Jakarta akan mengadakan pelatihan simulasi di Medan. Aku diminta untuk membantu mengajarkan materi sigap bencana” kalimat-demi kalimat tersusun menjadi narasi kemanusiaan yang indah. aku mendengarnya sebagai sajak-sajak dalam alunan lagu yang mengantarku pada sosok penolong sejati.
“Kita haru berbagi ilmu, walaupun tak banyak” ucap Rangga menambahi perkataannya yang tadi.
Beberapa orang pernah berkata, bahwa tak ada yang lebih hangat dari pelukan dipagi hari, pelukan yang akan memberimu semangat dan sebuah senyuman yang berarti. Rangga memberikannya pada semua korban yang ada di sini. Pada semua yang peduli untuk sedikit berbagi nasib baik.
***
Tepat pukul delapan malam, aku telah sampai di rumah. Tempat tidur nyaman yang lama tak kujumpai. Bergegas ku kirim pesan pada seseorang yang sedang jauh.
To: Rangga
Kapan kau akan berangkat ke Medan?
Aku mencemaskanmu.
Lama Rangga tak membalas, mungkin ia sedang melakukan sesuatu. Karena lelah, aku tertidur dengan lelap. Pagi-pagi sekali aku terbangun, layar handphone adalah benda pertama yang aku sapa.
From: Rangga
Aku akan berangkat siang ini pukul sebelas
Apa ini? Bisa kubayangkan ekspresi datarnya. Namun, aku tetap bersyukur mendapat kabar darinya, setidaknya ada kejelasan.
***
Kecelakaan pesawat dengan rute Jogja-Medan, semua penumpang dinyatakan meninggal.

Headline koran pagi ini. Ingin rasanya aku menghapus semua tulisan yang ada di sana. Bahkan dengan seluruh air mataku, waktu tak dapat diulang. Rangga, apa kau bodoh? Kau menyelamatkan orang lain tetapi kau tak dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Kalimat yang selalu kuucapkan untuk menghibur diriku sendiri, sebelum malam kembali datang. Rangga, siamo tuti frutelli, dan tersenyumlah sahabatku.

0 komentar:

Kunang Biru © 2008 Por *Templates para Você*