Jumat, 31 Oktober 2014

Kunang-Kunang


Kunang-Kunang

Kau memang bukan bintang berkelap di atas sana
Menerjap seakan menerangkan bumi yang tengah gelap
Dan terlelap dalam kesadaran ilusi
Bintang akan sempurna ketika sang aurora berpancar di kutub utara
Dengan sabitnya bulan yang membentang di antara ribuan bintang-bintang yang berpijar
Kau memang bukan bintang
Hanya kunang-kunang
Menampakan wujudmu saat kerinduan bertaut di antara ribuan cinta
Menjadi pemandu jalan bagi mereka yang tersesat di antara cinta yang salah 
Kunang-kunang terbang bebas di antara langit yang gelap dan ribuan kemerlap bintang
Kunang-kunang
Cukup tautkan tangan, maka tujuh kunang-kunang akan bercahaya
Tetaplah menjadi kunang-kunang walau kau bukan bintang
Cukup dengan tujuh kata, percayalah...
Telapak tanganku kan terulur
Tuk menutup kunang-kunang
Dan membiarkannya bercajaya
Di sana
Ditanganku



Salam Perpisahan



Salam Perpisahan
Oleh : Khamdanah

Hari ini aku mengikuti tahap tes wawancara, aku mengikuti seleksi beasiswa ke salah satu universitas di Amerika. Iya, pilihan yang aku pilih mungkin agak membingungkan. Bahkan aku sendiripun bingung dengan keputusanku ini. Sebenarnya aku tak benar-benar berniat pergi. Semua berawal dari rasa jenuhku dengan hubungan ini.
***
Waktu menunjukan pukul 05.00 pagi. Tiba-tiba Hana muncul di kamarku saat itu, kulihat wajahnya pucat. Namun, ia tersenyum manis padaku. “kau tidur seperti tak akan bangun lagi! Hingga aku takut melihatmu tidur...” ucap Hana padaku yang baru membuka mata. Aku tak menjawab apapun, kemudian aku bangkit dan ku ambil handuk yang tergantung di dinding. “apakah kau akan pergi?” Hana bertanya padaku. Kali ini aku benar-benar tak bisa mengabaikannya. “aku akan mengurus beberapa surat untuk keberangkatanku ke Amerika” kujawab pertanyaannya sambil berjalan menuju ke kamar mandi. Hana meletakkan beberapa tangkai bunga dalam vas di meja, ia memang selalu melakukan hal itu sejak empat tahun yang lalu.
Hana masih duduk di kursi ketika aku meninggalkannya di rumahku. Ia terlihat baik-baik saja. Ketika aku duduk di dalam bus tiba-tiba ponselku berdering.
Mama Maya called
Setelah kulihat ternyata itu adalah telfon dari ibu Hana, bergegas kuangkat karena kukira ada hal yang sangat perting yang ingin beliau bicarakan padaku. Kudengar tangisnya yang lirih namun menyayat hatiku. Bergegas aku turun dari bus dan berlari menuju rumahku. Kubuka pintu dan kucari Hana kesetiap sudut ruangan. Dan tidak kutemukan.
Aku masih tak percaya. Aku merasa bahwa semua ini mimpi dan aku berharap semoga ini memang mimpi. Hana yang pagi ini tersenyum padaku, kulihat tubuhnya terbaring koma di salah satu ruang rumah sakit. Aku tak percaya ini. Siapa yang tadi menemuiku? Apa maksud semua ini? Semakin kupaksa otakku berpikir semakin aku merasa tak dapat bernapas. Tubuhku bergetar. Dan air mata ini menetes.
***
4-5-10
Hari ini aku benar-benar lelah dengan rutinitas kerjaku. Penat meremuk tubuhku, aku ingin sejenak melepas lelahku. Akhir-akhir ini kulampiaskan kekesalanku dengan kebiasaan baruku yaitu merokok. Meski kutahu seseorang melarangku melakukan ini, tak ada alasan lain bagiku untuk mengikuti perkataanya. Karena akupun lelah dengannya. Lama ku cari benda yang aku butuhkan. Tak tak kutemukan satupun, yang  kutemukan hanyalah catatan kecil dalam lokerku.
sayang, apakah kamu mencari korek api? Kamu akan merokok? Lihat mukamu dikaca, pasti memerah. Maafkan aku. Aku sembunyikan semua korek api yang ada di rumahmu agar kau tak dapat merokok.
Sayang, dulu aku sering menerima kejutan darimu, kado yang kamu beli dari uang yang kamu kumpulkan saat itu, karena kamu berhenti merokok. Namun, sekarang aku jarang melihatmu melakukannya.
Aku rindu.
I Love You
Hana
***
Malam ini aku berjanji akan menemui Hana disalah satu restoran langganan kami berdua. Itu dulu, sebelum aku merasa jenuh dengan perjalanan cinta kami. Waktu empat tahun bersama yang seharusnya membuatku tambah mencintainya, justru membuatku merasa bosa dengan rutinitas kami berdua. Aku yang tak dapat menemukan sesuatu yang mungkin banyak orang sebut sebagai inovasi.Namun, sebaliknya dengan Hana, ia benar-benar wanita yang sangat setia dan perhatian. Meskipun aku mengabaikannya akhir-akhir ini, ia tetap dengan sabar menungguku di tempat itu.
23.30
From : Hana :*
Sayang J kamu pasti sibuk ya? Aku sudah menunggumu empat jam di sini.
Sebenarnya agak risih juga si, hehe.. untung pelayannya baik ya jadi aku ga diusir
Aku pulang sendiri yang
Kamu jangan lupa istirahat ya J miss you
Pesan yang dikirim oleh Hana ke ponselku benar-benar aku abaikan. Entah apa yang aku pikirkan, aku merasa Hana hanya membatasi kebebasanku. Membuatku tak dapat berkutik bahkan hanya untuk bernapas. Terkadang aku merasa bahwa tindakanku salah, aku tak sepantasnya mengabaikan Hana hanya karena aku jenuh dengannya.
“hey!! Cewek sebaik itu lu sia-siain?” Olan tiba-tiba merangkulku dari belakang, mengagetkanku dan aku terperanjat melepas lamunanku tentang Hana. “ini bukan sesuatu yang bisa dijelaskan dengan mudah. Lu ga ngerti apa yang ada dipiran gue Lan” bantahku kepada Olan yang sejak tadi memandangku dengan tatapan buas. “jelas gue ga ngerti, karena gue bukan lu. Gue bukan orang yang akan nyia-nyiain cewek sebaik Hana, cewek yang setia dan sayang banget sama lu. Gue ga tahu apa yanglu pikirin, yang jelas kalo gue jadi lu... gue ga akan sebodoh lu!!” kemudian Olan pergi ke meja kerjanya. Malam ini kami lembur berdua. Aku dan Olan membisu dalam kedinginan malam, kami hanyut dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Aku benar-benar mengerti apa yang dikatakan oleh Olan, dan ia memang tak salah mengatakan hal itu. Tapi, sepertinya Olan memang tak mengerti sedikitpun apa yang aku pikirkan. Ia tak mengerti apapun tentang diriku dan perasaanku. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku hanya lelah.
***
Hana dan Sania sedang duduk di salah satu bangku di taman kota. Mereka memang sengaja untuk bertemu, Sania adalah sahabat Hana sejak mereka duduk di bangku SMP. Hana menceritakan semuanya tentang perubahan sifat Haikal. “sudah jelas Haikal ga sayang sama kamu lagi Han, mungkin Haikal minta putus sama kamu Cuma dia cari-cari alasan supaya dia bener-bener bisa pisah sama kamu. Percaya deh sama aku, kamu itu baik Han, kamu cantik, masih banyak cowok di luar sana yang mau sama kamu. Jangan sia-siain waktu kamu Cuma buat cowok kayak Haikal, aku ga suka” Sania menjelaskan panjang lebar kepada Hana, berharap Hana akan mendengarkan dan melaksanakan nasihatnya. Namun, sepertinya hal itu sia-sia. Karena Hana bukanlha tipe orang yang akan rela meninggalkan seseorang yang sangat ia sayangi. Hana sudah bertekad bahwa ia akan tetapmenjaga hubungannya dengan Haikal. Ia percaya bahwa Haikal sebenarnya sangat menyayanginya. Hanya saja mungkin untuk saat ini Haikal masih sibuk dengan pekerjaannya sehingga menyita waktu bersama Hana.
***
Aku duduk di samping tempat tidur Hana, memegang erat tangan Hana yang pucat itu. Aku masih tidak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Dalam hati aku berteriak, bahwa semua ini hanyalah ilusi, hanya sebuah mimpi. Dan saat terbit fajar maka Hana akan kembali lagi. Namun, yang aku harapkan tidaklah terwujud. Hana tetap terbaring dan menutup matanya. Hana tak dapat bergerak bahkan hanya untuk sekadar membuka matanya. Aku sangat menyesal atas apa yang ku lakukan selama ini, seandainya waktu dapat kembali. Aku ingin mengatakan kepada Hana bahwa aku juga sangat menyayanginya. Dan aku menyesal.
Aku kembali ke kamarku. Kubuka pintu dan aku terhuyung ke tempat tidurku. Kepalaku terasa berputar, aku tak dapat berpikir apapun. Aku terpejam.
Saat aku membuka mata, aku melihat Hana sedang merapikan kamarku, seperti biasa ia membawa setangkai bunga dan meletakannya di vas yang dulu ia berikan kepadaku sebagai hadiah. Ia tersenyum melihatku membuka mata, dengan tatapannya yang manja. Hana memakai gaun putih yang cantik, wajahnya sayu. Aku masih tak mengerti dengan semua ini, sebenarnya apa yang terjadi? Aku bangun dan kusingkapkan selimutku, kuhampiri Hana yang masih berdiri disudut kamar. Aku memeluknya erat, kukatakan padanya bahwa aku benar-benar tak ingin ia pergi. Hana menatapku erat, seolah-olah ia ingin mengatakan sesuatu. Namun, tak kudengar sepatah katapun dari mulutnya. Sekali lagi, Hana hanya tersenyum manis.
Setelah memcuci mukaku, aku duduk bersama Hana di ruang makan, aku bertanya padanya apakah dia baik-baik saja, dan Hana mengangguk pelan. Saat aku bertanya “dengan apa kamu bisa ke sini sayang?” Hana tak menjawab, ia berdiri dan berjalan ke arah jendela. Kemudian Hana menunjuk ke arah luar, setelah ku lihat di luar sana terparkir sepeda yang biasa Hana gunakan. Hana memang suka bersepeda. Nampaknya Hana ingin menjawab semua pertanyaanku tanpa ia mengeluarkan sepatah katapun.
Sebenarnya ada banyak pertanyaan yang ada dikepalaku ini. Aku tak dapat mengartikan perasaan apa yang sedari tadi mengetuk-ketuk hati ini. Disatu sisi aku ingin mendapat jawaban dari mulut kekasihku itu, mengenai sebenarnya apa yang terjadi padanya. Di sisi lain, saat ini aku hanya ingin menghabiskan waktu berdua dengannya. Waktu yang mungkin tak dapat kumiliki lagi bersamanya.
Hana menggandengku pelan, nampaknya ia ingin membawaku ke suatu tempat dan kami tiba disebuah taman kecil dipenuhi bunga. Kepalaku semakin pening, jantungku berdetak kencang. Apa yang sebenarnya terjadi? Akan ada apa setelah ini? Akankah Hana teteap bersamaku? Seketika itu air mataku menetes pelan. Hana menyeka air mataku. “jangan menangis, ini bukanlah sebuah perpisahan sayang. Ada banyak hal yang sebenarnya masih ingin aku lakukan bersamamu. Tak perlu bersedih, ingatlah bahwa dengan hati yang gembira semuanya akan jadi mudah. Aku akan selalu hidup dalam hatimu. Berjanjilah padaku, ada atau tidak aku di sisimu, kau akan tetap tersenyum. Berjanjilah sayang” Hana menatapku, aku tak dapat mengatakan apapun, tubuhku terasa terpaku.
Telepon berdering, aku terbangun dari tidurku. Dan Hana... tak ada.
***
“sudahlah.. nak Haikal tak perlu menyesal. Mungkin ini memang takdir putriku, putriku yang malang” Ibu Maya menyeka air matanya. “ibu yakin bahwa Hana pergi dengan bahagia, ia pergi dengan damai” aku tak membalas ucapan Ibu Hana, semua ini masih terasa seperti mimpi untuku. Dan apakah aku harus memaksakan diri untuk bangun agar Hana dapat kembali?
***
Setelah menungguku lama dan aku tak menemuinya, Hana memutuskan untuk pergi ke rumahku, dengan sepeda kesayangannya, ia mengayuh sepeda dan membawa setangkai bunga yang akan ia letakan di vas kamarku. Seperti yang biasa ia lakukan. Dengan senyum ceria ia terus mengayuh, tak menyadari bahwa dari arah yang beralawanan sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi.
Sepeda itu hancur, dan bunga indah itu layu sebelum waktunya. Hana.. hanya Hana.

Sambiloto



Sambiloto

Sambiloto (Andrographis paniculata) adalah tumbuhan khas daerah tropis yang dapat tumbuh dimana saja dan merupakan anggota dari keluarga Acanthaceae. Daun sambiloto digunakan untuk berbagai keperluan. Daun sambiloto ini mengandung senyawa andrographolide. Senyawa ini terasa pahit, tapi memiliki sifat melindungi hati. Penilitian membuktikan bahwa senyawa ini mampu melindungi hati dari efek negatif galaktosamin dan parasetamol. Senyawa ini juga berperan besar dalam menurunkan enzim CDK4 sehingga menekan pertumbuhan sel kangker. Senyawa andrographolide juga berkhasiat meninggalkan kekebalan tubuh.
Tanaman ini bercabang, tegak tumbuh sampai 1 meter tingginya. Daun dan batang tanaman digunakan untuk extract aktif. Sambiloto tumbuh subur di Indonesia, India (dan Sri Lanka), Pakistan dan dibudidayakan secara luas di Cina dan Thailand. Tanaman ini tumbuh terbaik di daerah tropis dan sub-tropis di dunia. Sambiloto biasanya tumbuh dari biji, dan subur di kawasan hutan, dan sepanjang jalan dan di desa-desa. Karena sifat yang terkenal sebagai obat, di Indonesia juga banyak dimanfaatkan secara tradisional. Tanaman ini mudah tumbuh di semua jenis tanah. sambiloto Sambiloto telah digunakan selama berabad-abad di Asia dan terus digunakan saat ini di Indonesia sebagai ramuan obat, untuk mengobati infeksi pernafasan atas, batuk, demam, pilek, herpes, sakit tenggorokan, dan berbagai penyakit kronis lainnya. Hal ini juga ditemukan dalam beberapa tradisi medis yang lain seperti Ayurvedic dan shinsei. Sambiloto juga dikenal mencegah serangan jantung, efek kuat sebagai “pembersih” adalah manfaat yang signifikan, terutama bagi masyarakat yang bekerja dalam kondisi stress dan orang-orang yang kelebihan berat badan. Dalam pengobatan tradisional Cina itu adalah penting sebagai obat terapi “dingin”, yang digunakan untuk membersihkan tubuh dari panas, seperti demam, dan menghilangkan racun dari tubuh. Di Skandinavia, juga sering digunakan untuk mencegah dan mengobati masuk angin. Penelitian yang dilakukan sejak tahun ’80 telah memastikan bahwa sambiloto, dengan proses yang benar, adalah ramuan spektrum yang luas dan memiliki berbagai macam efek farmakologis yang luar biasa, beberapa dari mereka sangat bermanfaat untuk : 1) Analgesik: penghilang nyeri. 2) Anti-hyperglycaemic: memiliki efek menurunkan glukosa darah. 3) Anti-inflamasi: mengurangi pembengkakan. 4) antibakteri: melawan aktivitas bakteri, bermanfaat dalam mengurangi diare dan gejala yang timbul dari infeksi bakteri. 5) Antimalaria: sifat perkalian profilaksis mencegah infeksi dan parasit dalam aliran darah. 6) Antihepatotoxic: menghilangkan racun hati. 7) antipiretik: peredam demam yang disebabkan oleh beberapa infeksi atau racun. 8.) antithrombotic: mencagah pembekuan darah. 9) Antivirus: menghambat aktivitas virus. Menghambat replikasi HIV. 10) antioksidan: beroperasi melawan radikal bebas. 11) Cancerolytic: membunuh, sel-sel kanker. 12) cardioprotective: melindungi otot jantung. 13) koleretik: mengubah sifat dan meningkatkan aliran empedu. 14) depurative: membersihkan dan memurnikan darah. 15) ekspektoran: mengencerkan lendir dari sistem pernapasan. 16) hepatoprotektif: melindungi hati dan kandung empedu. 17) hipoglikemik: perlindungan terhadap diabetes. 18) Immune Enhancer: meningkatkan fagositosis sel darah putih, menghambat replikasi HIV-1. 19) trombolisis: eliminator pembekuan darah. 20) Vermicidal: membunuh cacing usus.

Inter Arma Caritas (Versi 2)

Inter Arma Caritas (Versi 2)
Oleh : Khamdanah



Inter arma caritas!!” teriak kami bersama-sama.
Solverino” terdengar jawaban dari jarak 100 meter. Kami melanjutkan perjalanan, meskipun lelah kami tetap berjalan. Tanpa sadar aku melamun
Siamo!!!” suara lantang dan membuyarkan semua lamunan.
Siamo....” jawab kami bersama-sama.
***
“Bu, tolonglah.. satu lagi, hanya satu lagi” pinta Rana merengek. Tapi sepertinya ibu tersebut tak mendengarkannya sama sekali.
“Maaf mbak, saya harus mengantar anak saya latihan tari sekarang, silakan cari tempat lain” kemudian pemilik tempat fotokopi itu bergegas berkemas dan mengambil kunci pintu. Aku hanya tertunduk lemah, cocard yang harus aku bawa untuk penerimaan calon anggota sebuah UKM di sebuah universitas, belum selesai ku buat, ibu fotokopian itu tidak mau menerima permintaan laminating cocardku. Disudut ruangan kulihat lelaki itu memegangi cocard miliknya dengan wajah lesu.
“Apa benar-benar tidak bisa Bu?” tanya lelaki itu pada ibu pemilik tempat fotokopi. “dia mengatakan hal yang sia-sia!” batinku berteriak.
“Duh Mas.. Mas.. kan sudah saya jelaskan tadi sama mbaknya, saya tidak bisa. Silahkan cari tempat lain”. Jelas ibu itu dengan nada kesal.
“Yasudah Bu terimakasih” ucapku datar menimpali percakapan mereka.
“Iya mbak, mas, sekali lagi saya minta maaf” ibu pemilik foto kopi kemudian mengambil tasnya dan bergegas keluar, kami berdua mengikutinya dari belakang.
Pada akhirnya kami gagal membujuk ibu pemilik tempat fotokopi untuk melaminating cocard kami. Tanpa sengaja, kuamati cocardnya dan sama persis dengan milikku. Hanya saja ia belum memakai pakaian yang sudah ditentukan oleh panitia. Tanpa pikir panjang aku mengajukan pertanyaan padanya
Cocard kita sama, apa kau juga calon anggota?” tanyaku padanya
“Iya” jawabnya singkat dan tersenyum manis, jika dilihat-lihat dia adalah lelaki yang manis. Tapi, bukan saatnya untuk berpikir demikian pada saat genting seperti ini, sekarang menunjukan pukul 07.13 dan aku harus sampai di tempat perkemahan pada pukul 07.30. sudah tidak ada waktu lagi bahkan untuk sekadar melamun.
“Yuk cari tempat fotokopi lain” ucapku sambil menarik lengannya, lelaki itu terlihat canggung, ia tak beranjak dari tempatnya berdiri.”ayuk, kita akan telat jika tak bergegas! Apa kau ingin dihukum?” timpalku lagi.
“Oh.. iya” dia melangkah dan menarik lenganku. Simpulannya? Mengapa kami berdua menjadi saling tarik menarik lengan? Pikirku dalam hati.
Lelaki itu ternyata membawa motor, tanpa pikir panjang aku langsung duduk di belakangnya, ia tampak bingung kembali. Aku tak menghiraukan, kukatakan padanya bahwa sebaiknya dia bergegas mencari tempat fotokopian. Mungkin dia berpikir bahwa aku adalah wanita yang aneh, membonceng seorang lelaki yang bahkan belum tahu namanya itu. Tapi ini adalah keadaan mendesak, aku tak memikirkan hal-hal lain selain aku sampai di tempat itu dengan tepat waktu. Dalam perjalan lelaki itu bercerita bahwa ia sudah mengelilingi lingkungan kampus dan tidak menemukan satupun fotokopian yang buka karena tempat fotokopi memang buka agak siang, sehingga kami harus mencari ke tempat yang lebih jauh lagi. Setelah berkeliling, pada akhirnya, kami menemukan tempat fotokopian yang baru saja dibuka. Kami selamat dari bercana, setidaknya untuk saat ini. Sambil menunggu cocard selesai dilaminating, aku memulai percakapan dengannya.
“Mengapa kau tidak memakai pakaian yang ditentukan? Sebaiknya kau menggantinya sekarang, masih ada waktu!” ucapku dengan maksud sedikit memberikan solusi.
“Tak apa, nanti saja aku menggatinya” jawabnya dengan muka misterius.
“Tapi kau akan telat!” aku tak ingin kalah beradu argumen saat ini.
“Bukankah anak lelaki sebaiknya telat?” jawaban singkat dan menyakitkan. Aku tak dapat berkata-kata lagi. Alih-alih memalingkan wajah memandangi mas-mas tukang fotokopi.
“Bolehkah aku memintamu mengantarku?” kali ini aku memintanya dengan tulus. Aku hanya tidak ingin telat, hanya itu yang ada dalam pikiranku saat itu.
“Baiklah..” lelaki itu menjawab dengan wajah datar, entah ia rela atau tidak, aku tidak peduli. Aku hanya ingin cari aman.
“Sungguh? Terimakasih...” kemudian dia mengantarku. Sesampainya di gerbang universitas, aku turun dari motornya, sebelum dia pergi kuucapkan kata terimakasih untuk kedua kalinya, setidaknya dia telah menyalamatkanku dari hukuman para senior yang galaknya melebihi satpam kampus dan sensitifnya melebihi ibu-ibu yang sedang mengendarai motor di jalan, membunyikan klakson setiap waktu, entah apa alsannya. Namun, itu sangat menggangu.
“Aku Rana” aku memperkenalkan diri karena sedari tadi dia tidak mengajakku berkenalan, sehingga aku mengeluarkan inisiatif  ini.
“Rangga..” dan kemudian kami berpisah di sini.
Meskipun pada akhirnya kami akan sering bertemu. Namun, semua diawali dan diakhiri di sini.
***
Kami adalah sukarelawan, kamilah Korp Sukarela atau biasa dipanggil KSR. Kami membantu orang-orang yang memerlukan bantuan, kami tidak dibayar. Kami melakukan semua dengan sukarela, berharap keadaan akan membaik jika kami ada. Kami membawa prinsip-prinsip kemanusiaan, kami beranggapan bahwa manusia adalah makhluk sosial, kami semua sama, kami semua rata, karena itu kami wajib membantu sesama yang membutuhkan bantuan kami.
Kami menyalurkan bantuan dari tangan-tangan yang peduli dengan saudara-saudaranya yang sedang membutuhkan bantuan. Kami adalah salah satu jalan diantara jalan-jalan yang saling berhubungan, menghilangkan jarak yang berarti dan menenggelamkan kecanggungan atau intimidasi sosial. Sekali lagi, kita semua sama rata, kita semua adalah saudara.
***
“Jangan manja!! Kalian ini calon penolong!!! Bukan orang yang harus ditolong! Camkan itu dalam-dalam dipikiran kalian!” bentak senior yang menjabat sebagai koordinator lapangan yang horornya seperti tokoh Dugong dalam cerita Putri Duyung, begitulah pikirku. Bagaimana tidak, ia membentak tepat ditelingaku hingga rasanya telingaku berdenging seketika itu dan masih dapat merasakan dengingan di telaku hingga beberapa hari kemudian.
“Hey! Kamu lari cepet! Baru lari di medan biasa saja ngeluh! Gimana kalo ke medan bencana! Dipikir! Kalo tidak siap pulang saja sana! Manja!!!” bentak Dugong-dugong yang lain. Dugong-dugong yang memiliki pemikiran dan maksud serta tujuan yang sama, yaitu menyiksa juniornya, merasa dirinya adalah simbol nyata yang dapat dicontoh dan dipelajari. Segelumit pikiran yang berjalan-jalan di alam bawah sadarku, terkadang aku tersenyum sendiri. Membayangkan dugong-dugong itu berlatih agar terlihat menyeramkan di hadapan kami.
Kami dilatih untuk mandiri, kami dilatih untuk sadar dengan keadaan. Peka dengan lingkungan. Kami dilatih agar dapat bertahan dalam keadaan apapun. Kami dilatih bertahan dalam medan bencana, bukan di tempat yang dikelilingi kenyamanan dan fasilitas yang sinkron dengan kemewahan. Tidak, tidak seperti itu.
***
Di tengah malam, dingin terasa masuk ke dalam tulang-tulang kering yang kelelahan. Tulang-tulang rusuk bahkan ikut berderik karena terlalu dipaksakan untuk bertahan. Di tengah hutan, kami mendapat amanat membawa sekantung darah yang harus dibawa hingga pos terakhir. Darah harus aman, tidak boleh hilang, terjatuh, pecah, atau bahkan bocor sedikitpun. kami melindunginya dengan segala upaya yang ada. Bertahan dan bertahan.
Kami terus berjalan, melewati setiap lekuk bumi, tanjakan dan turunan yang curam. Sungai yang mengalir deras, struktur tanah yang tidak menentu, harus kami lewati agar sampai hingga pos terakhir. Perjalanan tidaklah mudah, tetapi kami tetap berjalan dan terus berjalan. Kami adalah calon sukarelawan.
Bahkan kami harus memakan mie instan dengan tangan kosong yang sudah disiram dengan air terasi, sedang tangan kiri memegang belatung. Jika aku berpikir ulang, apa maksud semua itu dengan gerakan sukarela?. Namun, aku menemukan jawaban bahwa ketika menolong orang lain, akan ada banyak hal-hal yang tidak menyenangkan bahkan menyakitkan. Bahwa tidak semua yang kita inginkan akan menjadi kenyataan, masih banyak orang-orang di luar sana yang membutuhkan.
***
Hari-haripun berganti, aku masih tetap disini dan menunggu. Aku yang selalu seperti ini, akan tetap seperti ini. Angin melewati setiap sela-sela jariku. Cahaya yang meredup entah di tempat ini atau di hatiku. Aku tetap volunter, kita volunter, kami semua volunter, kita semua volunter. Rangga.
***
27 Mei 2006
“Kita membutuhkan lebih banyak mitela, ini tidak akan cukup” ucap Rangga tergesa-gesa. Aku memegangi erat kaki korban.
“Ini adalah patah tulang terbuka, kita tak akan membiarkannya terus seperti ini. Keadaan akan memburuk, kita tidak bisa memastikan apakah akan ada gempa susulan lagi” tampak jelas kekhawatiran diwajah Rangga, ia terlihat sangat cemas. Sambil membuat cincin dengan menggunakan mitela untuk menutup tulang patah yang terbuka.
“Ini adalah perdarahan serius, kita perlu menghentikan perdarahan agar korban tertolong” ucapku membalas Rangga. Ia tak menoleh, tentu ucapanku sudah ada dikepalanya bahkan tanpa aku menjelaskan kepadanya. Kecakapan dan pengetahuannya tentang pertolongan jauh lebih baik dibandingkan denganku.
“Kita harus hentikan aliran darah keseluruhan” ucap Rangga serius.
“Apa kau gila? Dia anak-anak, jika kita lakukan itu maka kakinya akan diamputasi, apa kau tega melihat anak delapan tahun pergi ke sekolah dengan menggunakan tongkat?” jawabku setengah membentak.
“Lalu apakah kau ingin anak ini tidak besekolah untuk selamanya?” aku hanya terdiam, Rangga benar bahwa jika tidak dilakukan penghentian perdarahan maka nyawa anak ini tidak akan tertolong. Anak laki-laki berusia delapan tahun yang seharusnya sedang asyik bermain layang-layang atau sepak bola bersama teman-temannya di lalapangan. Badannya tergeletak lemah, separuh tertindih reruntuhan bangunan rumahnya, kaki kirinya tertimpa besi penyangga bangunan. Nyarih tak berbentuk, beruntung nyawanya dapat tertolong. Tak lama setelah kami membidai kakinya, ambulans datang dan membawa anak itu untuk tindakan lebih lanjut.
Rumah-rumah, swalayan, tempat ibadah, sekolah, hampir semua rata dengan tanah. Gempa dengan kekuatan 6,2 skala Richter telah meluluh lantakkan semuanya. Gempa yang terjadi pukul 05.55 WIB selama 57 detik itu telah meninggalkan kesedihan bagi setiap orang yang ada di sini. Bahkan kami, mendengar tangis mereka, kedinginan dalam senyap malam. Jika aku mengingat dengan apa yang aku alami ketika pelaksanaan calon anggota, tentu ini tak sebanding. Menjadi relawan ternyata tak mudah.
***
Seminggu berada di Jogja, bukan untuk berlibur atau berbelanja. Kami melihat dari sisi yang berbeda. Menyalurkan tenaga dan bantuan sesuai keahlian kami. Dari sinilah aku belajar, melihat mereka, senyum-senyum yang tersembunyi dalam tenda. Senyum pahit untuk hati yang ketakutan dengan hadirnya malam. Melihat mereka mengingat semua yang terjadi, membuatku ingin menangis.

Suatu hari aku berpikir, bahwa mereka, yang aku tolong, mungkin tidak akan mengingatku atau bahkan hanya mengenal siapa namaku. Tapi bukan itu tujuan kami. Melihat mereka, mengurangi beban yang mereka tanggung, sudah lebih dari cukup bagiku.

“Apakah kau sudah makan?” Rangga membangunkan lamunanku.
“Ah? Sudah” jawabku singkat sambil membenahi bajuku.
“Kau pintar berbohong saat ini” Rangga memberikan roti kepadaku.
“Kau sendiri bahkan tidak tidur selama tiga hari? Apa kau satria baja hitam?” tanpa alasan yang jelas, emosiku meledak seketika. Rangga hanya tertawa.

Aku mengerti bahwa jiwa menolongnya sangat tinggi, tetapi aku hanya ingin ia memperhatikan dirinya sendiri. Bukankah mengutamakan keselamatan diri adalah hal paling penting sebelum menolong?.
“Sudahlah.. pulanglah nanti sore dengan rekan-rekan yang lain, mereka akan berangkat nanti pukul empat” Rangga menepuk bahuku.
“Bagaimana denganmu?” aku bertanya untuk meminta kepastian darinya.
“Aku akan ke Medan terlebih dahulu” Rangga menjawab dengan keyakinan penuh dipikrannya. Terlihat sangat jelas.
“Apa terjadi sesuatu dengan orang tuamu?” aku semakin penasaran.
“Aku akan menemui volunter-volunter di sana, ada beberapa orang dari universitas di Jakarta akan mengadakan pelatihan simulasi di Medan. Aku diminta untuk membantu mengajarkan materi sigap bencana” kalimat-demi kalimat tersusun menjadi narasi kemanusiaan yang indah. aku mendengarnya sebagai sajak-sajak dalam alunan lagu yang mengantarku pada sosok penolong sejati.
“Kita haru berbagi ilmu, walaupun tak banyak” ucap Rangga menambahi perkataannya yang tadi.
Beberapa orang pernah berkata, bahwa tak ada yang lebih hangat dari pelukan dipagi hari, pelukan yang akan memberimu semangat dan sebuah senyuman yang berarti. Rangga memberikannya pada semua korban yang ada di sini. Pada semua yang peduli untuk sedikit berbagi nasib baik.
***
Tepat pukul delapan malam, aku telah sampai di rumah. Tempat tidur nyaman yang lama tak kujumpai. Bergegas ku kirim pesan pada seseorang yang sedang jauh.
To: Rangga
Kapan kau akan berangkat ke Medan?
Aku mencemaskanmu.
Lama Rangga tak membalas, mungkin ia sedang melakukan sesuatu. Karena lelah, aku tertidur dengan lelap. Pagi-pagi sekali aku terbangun, layar handphone adalah benda pertama yang aku sapa.
From: Rangga
Aku akan berangkat siang ini pukul sebelas
Apa ini? Bisa kubayangkan ekspresi datarnya. Namun, aku tetap bersyukur mendapat kabar darinya, setidaknya ada kejelasan.
***
Kecelakaan pesawat dengan rute Jogja-Medan, semua penumpang dinyatakan meninggal.

Headline koran pagi ini. Ingin rasanya aku menghapus semua tulisan yang ada di sana. Bahkan dengan seluruh air mataku, waktu tak dapat diulang. Rangga, apa kau bodoh? Kau menyelamatkan orang lain tetapi kau tak dapat menyelamatkan dirimu sendiri. Kalimat yang selalu kuucapkan untuk menghibur diriku sendiri, sebelum malam kembali datang. Rangga, siamo tuti frutelli, dan tersenyumlah sahabatku.

Kunang Biru © 2008 Por *Templates para Você*