Topeng kopi
oleh: Khamdanah
“Le,
kamu yakin tidak mau sekolah? Lah kamu mau jadi apa nanti? Mau jadi petani? Duh
Le... hidup kita sudah susah, biar saja bapak kamu yang nyangkul, lah kamu
jangan ikut-ikutan nyangkul. Sudah jamannya maju ko mau mundur saja” mendengar
kata-kata itu, kembali kebimbangan menerpaku, memalingkan setiap pilihan yang
aku ambil, kemudian melemparkannya jauh. Wanita dengan usia hampir seabad itu,
kulitnya tertutupi keriput-keripun manja yang selalu mengikutinya setiap waktu.
Menjadi saksi perjalanannya, saksi bisu hidupnya yang juga tak mulus, seperti
kulitnya.
Biji-biji
kopi terjatuh dan berdenting, seirama nyanyian alam yang lembut. Kabut masih
menutupi setiap lekuk rumbia-rumbia yang lembab karena siraman hujan semalam.
Derik-derik setiap pintu lusuh yang termakan waktu, menjadi saksi bisu setiap
perjuangan.
***
Malik
Sulistyono, mahasiswa terbaik dan lulusan tercepat. Ya, itu aku. Perjalanan memang
tak selamanya menyenangkan, tapi yakinlah dari setiap hal yang menyakitkan akan
ada keindahan yang tersimpan rapi.
***
Desa
Rahtawu Dukuh Semliro RT 1 RW 4 Kecamatan Gebog Kab Kudus. Di sanalah aku
tinggal, bersama pohon-pohon kopi yang tumbuh bersama angin yang menyapu helai
daun kering. Terlepas dari dahan yang menyangganya selama beberapa waktu lalu
yang kemudian melepasnya dengan keikhlasan yang terdalam.
Aku
adalah anak pertama dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang adik laki-laki.
Ayahku adalah seorang yang bekerja apa saja, terkadang dia menjadi petani dan
ada kalanya ia menjadi pekerja perkebunan kopi. Ibuku sudah lama meninggal, ia
adalah wanita yang sangat aku banggakan selain nenek yang merawatku sepenuhnya.
Menurut cerita tetangga, ibuku adalah orang yang rajin dalam bekerja, ia tidak
malu ataupun menutupi keadaannya. Seorang yang memberiku semangat untuk terus
berjuang. Satu kenanganku yang masih kuingat dengan jelas adalah ketika aku
membantunya mengangkut biji-biji kopi, dengan tubuhku yang kecil aku harus
membawa beban hampir dua kali lipat dari beban badanku.
“kalau
kamu mau jadi orang sukses, jangan setengah-setengah jika bekerja. Berat ya
memang berat, itu yang namanya hidup. Apa-apa jangan dijadikan beban. Jangan
mengeluh sama nasib, dijalani saja yang penting berusaha dan berdoa” tutur
ibuku dengan sangat bijaksana. Rangkaian kalimat itulah yang selalu menjadi
pemicu untukku belajar, meskipun sempat terhenti sekolahku selama tiga tahun.
Aku akhirnya menyadari bahwa perjuanganku masih panjang dan terlalu dini jika
aku berhenti saat ini.
***
Suatu
pagi dengan senyuman hangat sang mentari, sebagian besar masih tertidur lelap
karena hawa dingin yang masuk ke setiap tulang-tulang kering yang kelelahan.
Menjadi saksi bisu dalam sebuah perjalanan panjang.
“Sudah
saya jelaskan Mas! jika ingin mendaftar, pakai seragam yang ditentukan.
Silahkan pulang! Antrian masih panjang” petugas pendaftaran siswa baru
menjelaskan kepadaku dengan agak kesal, tatapannya seperti singa yang
kelaparan.
“Tolong
lah Bu.. saya sudah tidak punya seragam lagi” bujukku dengan sedikit memelas.
Namun, tak memberi efek apapun pada wanita itu.pertahannya sangat tangguh,
bahkan untuk sedikit iba dengan keadaanku ini.
Jadi
seperti inilah keadaan orang-orang yang terkatung nasib dan salah siapa jika
seperti ini? Aku akan mengerti jika ada penjelasan atas semua ini. Semakin
kupaksa diri untuk mengerti, semakin aku tidak mengerti atas percobaan
mengertiku.
Terusir
sekali dan terusir kembali, tidak membuatku patah semangat. Aku buktikan dan
kembali membuktikan. Memangnya kenapa? Karena penyesalan bukan seleraku.
Lama
menunggu dan tak ada perubahan apapun, aku tetap tidak diperbolehkan masuk dan
mendaftar. Bahkan sekadar untuk mengisi formulir saja sepertinya aku tak
diizinkan, dengan alasan karena aku tak memakai seragam. Aku memang sudah tak
memiliki seragam. Seragam SMPku entah ke mana, karena aku berhenti sekolah
selama 3 tahun dan aku memang sebenarnya pernah berpikir untuk tak melanjutkan
sekolah lagi. Karena lelah, kuputuskan untuk duduk di dekat gerbang sekolah. Seorang
lelaki paruh baya menghampiriku.
“Sedang
apa nak? Mengapa duduk sendiri di sini?” Dia bertanya padaku dengan nada
lembut.
“Saya
ingin mendaftar sekolah pak. Tetapi seragam SMP saya sudah tidak ada, saya
tidak diizinkan mendaftar tanpa seragam” jawabku padanya.
“Pulanglah
nak, pinjam seragam sama temanmu. Nanti ke sini lagi ya. Biar saya urus
semuanya” seperti mendapat sebuah pencerahan, seperti melihat sebuah celah
ruang dalam ruang yang lama tak berpenghuni. Aku segera berlari menuju ke rumah
salah seorang temanku. Meskipun perjalanan menuju rumah temanku sangat jauh,
tidak mengapa untukku. Rasa lelah ini tak berarti. Aku hanya berlari dan tak
memikirkan apapun.
***
Aku
lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan. Seseorang yang membantuku ketika
pendaftaran adalah seorang kepala sekolah, ternyata takdir berbaik hati padaku.
masa-masa SMA aku lalui dengan semangat belajar, mendapatkan nilai yang
memuaskan. Bahkan, beberapa guru sempat tak mempercayaiku, bagaimana seseorang
yang sempat berhenti sekolah selama tiga tahun bisa mengikuti pelajaran dengan
baik? Namun, semuanya kubuktikan dengan kerja kerasku. Masuk ke salah satu
perguruan tinggi negeri dengan beasiswa penuh. Mengambil konsentrasi Pendidikan
Seni Rupa. Aku tidak tinggal di kost seperti mahasiswa pada umumnya, aku
menjadi seorang takmir masjid. Membersihkan lingkungan masjid, azan dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan kegiatan masjid dan aku diizinkan tinggal di masjid
bersama beberapa mahasiswa lain tanpa harus membayar biaya sewa kamar. Pekerjaan
apapun akan aku lakukan, bahkan jika ada beberapa dosen yang memintaku untuk
mengecat rumah ataupun mencangkul lahan atau bahakan sekadar membersihkan
rumahnya, akan aku lakukan dengan senang hati. Berharap mendapat beberapa
tambahan untuk kuliah karena aku tak mau membebani keluargaku.
Tiga
semester berlalu, setelah kupikirkan matang-matang. Kuputuskan untuk berhenti
menjadi takmir masjid. Bukan karena aku lelah ataupun bosan, melainkan karena
aku mengingat permintaan terakhir dari ibuku untuk menjaga Jihad Amri,
satu-satunya adik yang kupunya. Semenjak kepergianku ke perantauan untuk
mencari ilmu, adikku menjadi anak yang seperti tidak memeiliki didikan, bermain
dengan anak-anak nakal yang tak bersekolah, ikut-ikutan geng motor yang tak
jelas tujuannya, bahkan sekolahpun dia tak minat. Beberapa tetangga bahkan
mengatakan kepadaku, meskipun kami adalah kakak beradik, tetapi kami sangat
berbeda, bagaikan bumi dengan langit. Aku tak merasa senang dengan perkataan itu,
bukan sebuah pujian tetapi sebuah tamparan keras untukku. Bagaimana mungkin aku
mencari ilmu dengan tenang sedangkan adikku tak jelas tujuan hidupnya. Karena
itulah kuputuskan untuk berhenti menjadi takmir tak tinggal di kost biasa agar
aku bisa leluasa pulang ke rumah dan memantau adikku. Dengan susah payah kuatur
waktuku agar dapat pulang kerumah sesring mungkin, memberikan yang terbaik
untuk keluargaku. Namun, sepertinya adikku tak berpikir demikian
“Tak
usah pulang Kang, buat apa? Aku ini bodoh. Sudah terlanjur bodoh, aku malas tak
seperti akang. Biar saja begini” opini remaja belasan tahun yang belum tahu
kerasnya dunia.
“Akang
memikirkan ibu! Coba pikir bagaimana sedihnya ibu jika tahu anaknya seperti
ini. Bukan Cuma akang dan para tetangga yang kecewa. Tapi almarhumah ibu juga”
balaskun kecewa.
Dengan
amarah yang menggebu, ku lajukan motorku menuju ke kota perantauan. Aku tak
mengerti jalan pikir Jihad, menelisik perjuanganku untuk dpaat bersekolah, dia
benar-benar tak bisa kupahami.
Silau
lampu di tengah jalan yang sedang bermandi gerimis membuatku tak dapat melihat
dengan baik. Aku tak dapat merasakan apapun ketika cairan kental berwarna merah
mengalir hangat di pelipis dan kakiku. Aku tak ingat apapun lagi.
***
Jalan
akan selalu ada, tak peduli seterjal apa jalan tersebut akan membawa kita
menuju tempat terindah. Semenjak kecelakaan itu, Jihad mau mendengarkan
perkataanku. Ia belajar dengan rajin dan berhenti bermain dengan geng motornya.
Nenek dan ayahku sangat bersyukur, meskipun keadaan ekonomi keluarga kami hanya
pas-pasan. Jihad bahkan sudah merencanakan untuk masuk ke salah satu
universitas yang ia inginkan. Membuatku semakin semangat mengejar cita-citaku.
Melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
***
Malik
Sulistiyono, pengusaha topeng kopi Desa Rahtawu Dukuh Semliro RT 1 RW 4
Kecamatan Gebog Kab Kudus. Memiliki tempat kerajinan dan membuka lapangan kerja
bagi masyarakat sekitar. Membawa nama
harum bagi keluarga, bagi setiap biji-biji kopi yang memerah ditangkainya.
Dirangkai menjadi sebuah cerita indah dan elok layaknya topeng kopi.