Kamis, 11 Desember 2014



Topeng kopi
oleh: Khamdanah



“Le, kamu yakin tidak mau sekolah? Lah kamu mau jadi apa nanti? Mau jadi petani? Duh Le... hidup kita sudah susah, biar saja bapak kamu yang nyangkul, lah kamu jangan ikut-ikutan nyangkul. Sudah jamannya maju ko mau mundur saja” mendengar kata-kata itu, kembali kebimbangan menerpaku, memalingkan setiap pilihan yang aku ambil, kemudian melemparkannya jauh. Wanita dengan usia hampir seabad itu, kulitnya tertutupi keriput-keripun manja yang selalu mengikutinya setiap waktu. Menjadi saksi perjalanannya, saksi bisu hidupnya yang juga tak mulus, seperti kulitnya.
Biji-biji kopi terjatuh dan berdenting, seirama nyanyian alam yang lembut. Kabut masih menutupi setiap lekuk rumbia-rumbia yang lembab karena siraman hujan semalam. Derik-derik setiap pintu lusuh yang termakan waktu, menjadi saksi bisu setiap perjuangan.
***
Malik Sulistyono, mahasiswa terbaik dan lulusan tercepat. Ya, itu aku. Perjalanan memang tak selamanya menyenangkan, tapi yakinlah dari setiap hal yang menyakitkan akan ada keindahan yang tersimpan rapi.
***
Desa Rahtawu Dukuh Semliro RT 1 RW 4 Kecamatan Gebog Kab Kudus. Di sanalah aku tinggal, bersama pohon-pohon kopi yang tumbuh bersama angin yang menyapu helai daun kering. Terlepas dari dahan yang menyangganya selama beberapa waktu lalu yang kemudian melepasnya dengan keikhlasan yang terdalam.
Aku adalah anak pertama dari dua bersaudara. Aku memiliki seorang adik laki-laki. Ayahku adalah seorang yang bekerja apa saja, terkadang dia menjadi petani dan ada kalanya ia menjadi pekerja perkebunan kopi. Ibuku sudah lama meninggal, ia adalah wanita yang sangat aku banggakan selain nenek yang merawatku sepenuhnya. Menurut cerita tetangga, ibuku adalah orang yang rajin dalam bekerja, ia tidak malu ataupun menutupi keadaannya. Seorang yang memberiku semangat untuk terus berjuang. Satu kenanganku yang masih kuingat dengan jelas adalah ketika aku membantunya mengangkut biji-biji kopi, dengan tubuhku yang kecil aku harus membawa beban hampir dua kali lipat dari beban badanku.
“kalau kamu mau jadi orang sukses, jangan setengah-setengah jika bekerja. Berat ya memang berat, itu yang namanya hidup. Apa-apa jangan dijadikan beban. Jangan mengeluh sama nasib, dijalani saja yang penting berusaha dan berdoa” tutur ibuku dengan sangat bijaksana. Rangkaian kalimat itulah yang selalu menjadi pemicu untukku belajar, meskipun sempat terhenti sekolahku selama tiga tahun. Aku akhirnya menyadari bahwa perjuanganku masih panjang dan terlalu dini jika aku berhenti saat ini.
***
Suatu pagi dengan senyuman hangat sang mentari, sebagian besar masih tertidur lelap karena hawa dingin yang masuk ke setiap tulang-tulang kering yang kelelahan. Menjadi saksi bisu dalam sebuah perjalanan panjang.
“Sudah saya jelaskan Mas! jika ingin mendaftar, pakai seragam yang ditentukan. Silahkan pulang! Antrian masih panjang” petugas pendaftaran siswa baru menjelaskan kepadaku dengan agak kesal, tatapannya seperti singa yang kelaparan.
“Tolong lah Bu.. saya sudah tidak punya seragam lagi” bujukku dengan sedikit memelas. Namun, tak memberi efek apapun pada wanita itu.pertahannya sangat tangguh, bahkan untuk sedikit iba dengan keadaanku ini.
Jadi seperti inilah keadaan orang-orang yang terkatung nasib dan salah siapa jika seperti ini? Aku akan mengerti jika ada penjelasan atas semua ini. Semakin kupaksa diri untuk mengerti, semakin aku tidak mengerti atas percobaan mengertiku.
Terusir sekali dan terusir kembali, tidak membuatku patah semangat. Aku buktikan dan kembali membuktikan. Memangnya kenapa? Karena penyesalan bukan seleraku.
Lama menunggu dan tak ada perubahan apapun, aku tetap tidak diperbolehkan masuk dan mendaftar. Bahkan sekadar untuk mengisi formulir saja sepertinya aku tak diizinkan, dengan alasan karena aku tak memakai seragam. Aku memang sudah tak memiliki seragam. Seragam SMPku entah ke mana, karena aku berhenti sekolah selama 3 tahun dan aku memang sebenarnya pernah berpikir untuk tak melanjutkan sekolah lagi. Karena lelah, kuputuskan untuk duduk di dekat gerbang sekolah. Seorang lelaki paruh baya menghampiriku.
“Sedang apa nak? Mengapa duduk sendiri di sini?” Dia bertanya padaku dengan nada lembut.
“Saya ingin mendaftar sekolah pak. Tetapi seragam SMP saya sudah tidak ada, saya tidak diizinkan mendaftar tanpa seragam” jawabku padanya.
“Pulanglah nak, pinjam seragam sama temanmu. Nanti ke sini lagi ya. Biar saya urus semuanya” seperti mendapat sebuah pencerahan, seperti melihat sebuah celah ruang dalam ruang yang lama tak berpenghuni. Aku segera berlari menuju ke rumah salah seorang temanku. Meskipun perjalanan menuju rumah temanku sangat jauh, tidak mengapa untukku. Rasa lelah ini tak berarti. Aku hanya berlari dan tak memikirkan apapun.
***
Aku lulus SMA dengan nilai yang sangat memuaskan. Seseorang yang membantuku ketika pendaftaran adalah seorang kepala sekolah, ternyata takdir berbaik hati padaku. masa-masa SMA aku lalui dengan semangat belajar, mendapatkan nilai yang memuaskan. Bahkan, beberapa guru sempat tak mempercayaiku, bagaimana seseorang yang sempat berhenti sekolah selama tiga tahun bisa mengikuti pelajaran dengan baik? Namun, semuanya kubuktikan dengan kerja kerasku. Masuk ke salah satu perguruan tinggi negeri dengan beasiswa penuh. Mengambil konsentrasi Pendidikan Seni Rupa. Aku tidak tinggal di kost seperti mahasiswa pada umumnya, aku menjadi seorang takmir masjid. Membersihkan lingkungan masjid, azan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kegiatan masjid dan aku diizinkan tinggal di masjid bersama beberapa mahasiswa lain tanpa harus membayar biaya sewa kamar. Pekerjaan apapun akan aku lakukan, bahkan jika ada beberapa dosen yang memintaku untuk mengecat rumah ataupun mencangkul lahan atau bahakan sekadar membersihkan rumahnya, akan aku lakukan dengan senang hati. Berharap mendapat beberapa tambahan untuk kuliah karena aku tak mau membebani keluargaku.
Tiga semester berlalu, setelah kupikirkan matang-matang. Kuputuskan untuk berhenti menjadi takmir masjid. Bukan karena aku lelah ataupun bosan, melainkan karena aku mengingat permintaan terakhir dari ibuku untuk menjaga Jihad Amri, satu-satunya adik yang kupunya. Semenjak kepergianku ke perantauan untuk mencari ilmu, adikku menjadi anak yang seperti tidak memeiliki didikan, bermain dengan anak-anak nakal yang tak bersekolah, ikut-ikutan geng motor yang tak jelas tujuannya, bahkan sekolahpun dia tak minat. Beberapa tetangga bahkan mengatakan kepadaku, meskipun kami adalah kakak beradik, tetapi kami sangat berbeda, bagaikan bumi dengan langit. Aku tak merasa senang dengan perkataan itu, bukan sebuah pujian tetapi sebuah tamparan keras untukku. Bagaimana mungkin aku mencari ilmu dengan tenang sedangkan adikku tak jelas tujuan hidupnya. Karena itulah kuputuskan untuk berhenti menjadi takmir tak tinggal di kost biasa agar aku bisa leluasa pulang ke rumah dan memantau adikku. Dengan susah payah kuatur waktuku agar dapat pulang kerumah sesring mungkin, memberikan yang terbaik untuk keluargaku. Namun, sepertinya adikku tak berpikir demikian
“Tak usah pulang Kang, buat apa? Aku ini bodoh. Sudah terlanjur bodoh, aku malas tak seperti akang. Biar saja begini” opini remaja belasan tahun yang belum tahu kerasnya dunia.
“Akang memikirkan ibu! Coba pikir bagaimana sedihnya ibu jika tahu anaknya seperti ini. Bukan Cuma akang dan para tetangga yang kecewa. Tapi almarhumah ibu juga” balaskun kecewa.
Dengan amarah yang menggebu, ku lajukan motorku menuju ke kota perantauan. Aku tak mengerti jalan pikir Jihad, menelisik perjuanganku untuk dpaat bersekolah, dia benar-benar tak bisa kupahami.
Silau lampu di tengah jalan yang sedang bermandi gerimis membuatku tak dapat melihat dengan baik. Aku tak dapat merasakan apapun ketika cairan kental berwarna merah mengalir hangat di pelipis dan kakiku. Aku tak ingat apapun lagi.
***
Jalan akan selalu ada, tak peduli seterjal apa jalan tersebut akan membawa kita menuju tempat terindah. Semenjak kecelakaan itu, Jihad mau mendengarkan perkataanku. Ia belajar dengan rajin dan berhenti bermain dengan geng motornya. Nenek dan ayahku sangat bersyukur, meskipun keadaan ekonomi keluarga kami hanya pas-pasan. Jihad bahkan sudah merencanakan untuk masuk ke salah satu universitas yang ia inginkan. Membuatku semakin semangat mengejar cita-citaku. Melanjutkan studiku ke jenjang yang lebih tinggi lagi.
***
Malik Sulistiyono, pengusaha topeng kopi Desa Rahtawu Dukuh Semliro RT 1 RW 4 Kecamatan Gebog Kab Kudus. Memiliki tempat kerajinan dan membuka lapangan kerja bagi masyarakat sekitar.  Membawa nama harum bagi keluarga, bagi setiap biji-biji kopi yang memerah ditangkainya. Dirangkai menjadi sebuah cerita indah dan elok layaknya topeng kopi.
 

Senin, 01 Desember 2014


Mengapa hujan selalu datang tanpa tanda?
Datang tanpa dimengerti
Mengubah tanda kenangan dan harapan
Bersemi di balik rimbunan dedaunan

Hujan kembali datang
Bersama ingatan yang belum terlupakan
Bersama sakit yang masih tertinggal
Dua musim menjelma karang

Tentang hujan.

Kunang Biru © 2008 Por *Templates para Você*